Rabu, 17 Juni 2009

MAKALAH FIQIH TENTANGARIYAH

BAB I
PENDAHULUAN
Kegiatan ekonomi yang sering
kita temui dalam kehidupan
sehari-hari bahkan tanpa kita
sadari, pinjam-meminjam
sering kita lakukan. Berbicara
mengenai pinjaman (‘Ariyah),
maka perlu kita bahas
mengenai dasar hukum
ariyah.
Apa sebenarnya ariyah itu?
Bagaimana dasar hukum serta
rukun dan syarat Ariyah? Dan
apakah pembayaran /
pengambilan pinjaman itu
telah sesuai atau tidak? Untuk
itu kita perlu mengetahui
bagaimana pengembalian
yang sesuai dengan syara .
agar kita bisa menerapkan
dalam kehidupan nyata.
Adapun tujuan disusunnya
makalah ini adalah untuk
memberi pengetahuan kepada
pembaca umumnya dan saya
khususnya tentang hal-hal
yang berkaitan dengan ‘ariyah
dan hukumnya, sehinga kita
dapat mengaplikasikanya
dalam kegiatan kita sehari-
hari. Akhirnya, semoga
makalah ini bermanfaat bagi
kita semua.
BAB II
PINJAMAN (ARIYAH)
A. Pengertian
Pinjaman atau ‘ariyah menurut
bahasa ialah pinjaman.
Sedangkan menurut istilah,
‘ariyah ada beberapa
pendapat:
1. menurut Hanafiyah, ariyah
ialah:
“memiliki manfaat secara
Cuma-Cuma”
2. menurut malikiyah, ariyah
ialah:
“Memiliki manfaat dalam
waktu tertentu dengan tanpa
imbalan.
3. Menurut syafiiyah, ariyah
adalah:
“Kebolehan mengambil
manfaat dari sesorang yang
membebaskannya,apa yang
mungkin untuk dimanfaatkan,
serta tetap zat barangnya
supaya dapat dikembalikan
kepada pemiliknya.”
4. menurut Hanbaliyah, Ariyah
ialah:
“kebolehan memanfaatkan
suatu zat barang tanpa
imbalan dari peminjam atau
yang lainnya.”
5. Ariyah adalah kebolehan
mengambil manfaat barang-
barang yang diberikan oleh
pemiliknya kepada orang lain
dengan tanpa di ganti
Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan ariyah ialah
memberikan manfaat suatu
barang dari seseorang kepada
orang lain secara Cuma-Cuma
(gratis). Bila diganti dengan
sesuatu atau ada imbalannya,
hal itu tidak dapat disebut
ariyah.
B. Dasar Hukum ‘Ariyah
Menurut Sayyid Sabiq, tolong
menolong (‘Ariyah) adalah
sunnah. Sedangkan menurut
al-Ruyani, sebagaimana dikutif
oleh Taqiy al-Din, bahwa
ariyah hukumnya wajib ketika
awal islam. Adapun landasan
hukumnya dari nash Alquran
ialah:
“dan tolong-menolonglah
kamu untuk berbuat kebaikan
dan taqwa dan janganlah
kamu tolong-menolong untuk
berbuat dosa dan
permusuhan.”
(Al-Maidah:2)
“Sesungguhnya Allah
memerintahkan kamu agar
menyampaikan amanat
kepada yang berhak
menerimanya.” (An-Nisa:58)
Selain dari Al-Quran, landasan
hukum yang kedua adalah Al-
Hadis, ialah:
“barang peminjaman adalah
benda yang wajib
dikembalikan”
(Riwayat Abu Daud)
“orang kaya yang
memperlambat (melalaikan)
kewajiban membayar utang
adalah zalim (berbuat aniaya)

(Riwayat Bukhari dan Muslim)
C. Rukun dan Syarat ‘Ariyah
Menurut Hanafiyah, rukun
‘ariyah satu, yaitu ijiab dan
Kabul, tidak wajib diucapkan
tetapi cukup dengan
menyerahkan pemilik kepada
peminjam barang yang
dipinjam dan boleh hukum
ijiab Kabul dengan ucapan.
Menurut Syafiiyah, rukun
ariyah adalah sebagai berikut:
1. Kalimat mengutangkan
(lafazh), seperti seseorang
berkata, “saya utangkan
benda ini kepada kamu” dan
yang menerima berkata “
saya mengaku berutang benda
anu kepada kamu.” Syarat
bendanya adalah sama
dengan syarat benda-benda
dalam jual beli.
2. Mu’ir yaitu orang yang
mengutangkan (berpiutang)
dan Mus’tair yaitu orang yang
menerima utang. Syarat bagi
mu’ir adalah pemilik yang
berhak menyerahkannya,
sedangkan syarat-syarat bagi
mus’tair adalah:
 baligh
 berakal
 orang tersebut tidak
dimahjur(dibawah curatelle)
atau orang yang berada
dibawah perlindungan, seperti
pemboros.
3. Benda yang diutangkan,
pada rukun ketiga ini
disyaratkan dua hal, yaitu:
 Materi yang dipinjamkan
dapat dimanfaatkan, maka
tidak syah ariyah yang
matwrinya tidak dapat
digunakan, seperti meminjam
karung yang sudah hancur
sehingga tidak dapat
digunakan untuk menyimpan
padi.
 Pemanfaatan itu dibolehkan,
maka batal ariyah yang
pengambilan manfaat
materinya dibatalkan oleh
syara, seperti meminjam
benda-benda najis.
D. Pembayaran Pinjaman
Setiap orang yang meminjam
sesuatu kepada orang lain
berarti peminjam memiliki
utang kepada yang berpiutang
(mu’ir). Setiap utang wajib
dibayar sehingga berdosalah
orang yang tidak mau
membayar utang, bahkan
melalaikan pembayaran utang
juga termasuk aniaya.
Perbuatan aniaya merupakan
salah satu perbuatan dosa.
Rasulallah Saw, bersabda:
“ Orang kaya yang melalaikan
kewajiban membayar utang
adalah aniaya”
(Riwayat Bukhari dan
Muaslim).
Melebihkan bayaran dari
sejumlah pinjaman
diperbolehkan, asal saja
kelebihan itu merupakan
kemauan dari yang berutang
semata. Hal ini menjadi nilai
kebaikan bagi yang membayar
utang.
Rasulallah Saw. Bersabda:
“sesungguhnya diantara orang
yang terbaik dari kamu adalah
orang yang sebaik-baiknya
dalam membayar utang”
(Riwayat Bukhari dan Muslim)
Rasulallah pernah berutang
hewan, kemudian beliau
membayar hewan itu dengan
yang lebih besar dan tua
umurnya dari hewan yang
beliau pinjam. Kemudian Rasu
bersabda:
“ Orang yang paling baik
diantara kamu ialah orang
yang dapat membayar
utangnya dengan yang lebih
baik”
(Riwayat Ahmad)
Jika penambahan itu
dikehendaki oleh orang yang
berutang atau telah menjadi
perjajian dalam akad
berpiutang, maka tambahan
itu tidak halal bagi yang
berpiutang untuk
mengambilnya. Rasul
bersabda:
“ Tiap-tiap piutang yang
mengambil manfaat, maka itu
adalah salah satu cara dari
sekian cara riba”
( Dikeluarkan oleh Baihaqi).
E. Meminjam Pinjaman dan
Menyewakan
Abu Hanifah dan Malik
berpendapat bahwa pinjaman
boleh meminjamkan benda-
benda pinjaman kepada orang
lain. Sekalipun pemiliknya
belum mengizinkan jika
penggunanya untuk hal-hal
yang tidak berlainan dengan
tujuan pemakaian pinjaman.
Menurut Mazhab Hanbali,
peminjam boleh
memanfaatkan barang
pinjaman atau siapa saja yang
menggantikan setatusnya
selama peminjaman
berlangsung, kecuali jika
barang tersebut disewakan.
Haram hukumnya menurut
Hanbaliyah menyewakan
barang pinjaman tanpa seizing
pemilik barang.
Jika peminjam suatu benda
meminjamkan benda pinjaman
tersebut kepada orang lain,
kemudian rusak ditangan
kedua, maka pemilik berhak
meminta jaminan kepada
salah seorang diantara
keduanya. Dalam keadaan
seperti ini, lebih baik barang
meminta jaminan kepada
pihak kedua karena dialah
yang memegang ketika
barang itu rusak.
F. Tanggung Jawab Peminjam
Bila peminjam telah
memegang barang-barang
pinjaman, kemudian barang
tersebut rusak, ia
berkewajiban menjaminnya,
baik arena pemakaian yang
berlebihan maupun karena
yang lainnya. Demonian
menurut Idn Abbas, Aisyah,
Abu Hurairah, Syai’I dan Ishaq
dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Samurah,
Rasulallah Saw. Bersabda:
“Pemegang kewajiban
menjaga apa yang ia terima,
hingga ia mengambilkannya”.
Sementara para pengikut
hanafiyah dan Malik
berpendapat bahwa, pemin
jam tidak berkewajiban
menjamin barang
pinjamannya, kecuali karena
tindakan yang berlebihan,
karena Rasulallah Saw.
Bersabda:
“Pinjaman yang tidak
berkhianat tidak berkewajiban
mengganti kerusakan”
(Dikeluarkan ai-Daruquthin)
G. Tatakrama Berutang
Ada beberapa hal yang
dijadikan penekanan dalam
pinjam-meminjam atau utang-
piutang tentang nilai-nilia
sopan-santun yang terkait di
dalamnya, ialah sebagai
berikut:
a. Sesuai dengan QS. Al-
Bazaar: 282, utang-piutang
supaya dikuatkan dengan
tulisan dari pihak berutang
dengan disaksikan dua orang
saksi laki-laki dengan dua
orang saksi wanita. Untuk
dewasa ini tulisan tresebut
dibuat diatas kertas bersegel
atau bermaterai.
b. Pinjaman hendaknya
dilakukan atas dasar adanya
kebutuhan yang mendesak
disertai niat dalam hati akan
membayarnya/
mengembalikannya.
c. Pihak berpiutang hendaknya
berniat memberikan
pertolongan kepada pihak
berutang. Bila yang meminjam
tidak mampu mengembelikan,
maka yang berpiutang
hedaknya membalaskannya.
d. Pihak yang berutang bila
sudah mampu membayar
pinjaman, hendaknya
dipercepat pembayaran
utangnya karena lalai dalam
pembayaran pinjaman berari
berbuat zalim.
BAB III
KESIMPULAN
‘Ariyah (pinjaman) adalah
memberikan manfaat suatu
barang dari seseorang kepada
orang lain secara Cuma-Cuma
(gratis). Apabila digantikan
dengan sesuatu atau ada
imbalannya, hal itu tidak
dapat disebut ¸’Ariyah.
Dalam ‘ariyah ada rukun dan
syarat yang harus dipenuhi,
rukun ‘ariyah yaitu adanya
akad (ijab dan qabul), Orang-
orang yang berakad, dan
barang yang dipijamkan.
DAFTAR PUSTAKA
• Suhendi, Hedi. 2002. Fiqih
muamalat. Jakarta: PT.
RAJAGRAFINDO PERSADA
• Mulyadi, Ahmad. 2006. Fiqih.
Bandung: penerbit Titian Ilmu
• Abdul Jalil, Ma’ruf. 2006. Al-
Wajiz. Jakarta: Pustaka As-
Sunah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar