Senin, 22 Juni 2009

MAKALAH FIQIH TENTANGJABATAN HAKIM MENURUTPERSPEKTIF ISLAM

BAB I
PEMBAHASAN
A.Latar Belakang Masalah
Hakim adalah seseorang yang
melakukan kekuasaan
kehakiman yang diatur
menurut undang-undang,
seseorang yang memutus
suatu perkara secara adil
berdasar atas bukti-bukti dan
keyakinan yang ada pada
dirinya sendiri. Dalam
melakukan kekuasaan
kehakiman hakim dihadapkan
dengan berbagai hal yang
dapat mempengaruhi
putusannya nanti. Dengan
demikian jabatan hakim ini
menjadi sangat penting
karena memutus suatu
perkara bukanlah hal mudah.
Ia harus sangat berhati-hati
menjatuhkan hukuman kepada
yang bersalah sebab yang
bersalah kadang-kadang
dibenarkan. Sedang yang
benar terkadang disalahkan.
Seorang hakim menjadi sangat
rentan akan berbagai
penyimpangan akan berbagai
penyimpangan baik yang
dilakukan secara sengaja
misalnya memutus seseorang
yang bersalah kemudian
dibenarkan hanya karena
memberikan uang kepada
hakim tersebut ataupun yang
dilakukannya secara tidak
sengaja misalnya memutus
seseorang yang tidak bersalah
karena bukti-bukti yang
menunjukan demikian. Segala
sesuatunya akan
dipertanggung jawabkan
dihadapan Allah SWT. Oleh
sebab itu jabatan hakim
mendapat perhatian khusus,
antara lain dalam hukum
positif terlihat dengan adanya
undang-undang pokok
kehakiman yang secara
khusus mengatur tata cara
peradilan termasuk jabatan
hakim. Tak hanya dalam
hukum positif dalam hukum
Islam pun jabatan hakim
mendapat perhatian khusus
dengan ayat-ayat al-Qur’an
yang membahas tentang
jabatan hakim ini bahkan jauh
sebelum hukum positif
mengaturnya.
B.Identifikasi Masalah
Oleh karena mengingat
betapa pentingnya jabatan
hakim dalam pelaksanaan
peradilan maka dalam
makalah ini penulis membahas
dua masalah antara lain:
1.Bagaimana jabatan hakim
menurut perspektif Islam
2.Hal yang diwajibkan dan
diharamkan hakim
C.Kerangka Teori
1.Jabatan Hakim Menurut
Perspektif Islam
Dalam Islam orang yang
memutus perkara di
Pengadilan disebut
“qadhi” (hakim). Namun
terlebih dahulu penulis
menguraikan susunan
pengadilan menurut Islam,
Adapun susunan acara
pengadilan terdiri dari:
a.Ada hakim, berapa
banyaknya tergantung pada
keadaan dan undang-undang
b.Ada jaksa (penuntut umum)
dan adapula terdakwa, atau
yang disebut yang “menuduh”
dan yang “tertuduh”,
“penggugat” dan yang
“digugat”.
c.Ada keterangan bukti dan
saksi, yaitu alat yang dijadikan
Pedoman bagi hakim untuk
menjatuhkan hukuman atau
putusan terhadap perkara
yang sedang diselesaikan.
d.Melakukan sumpah/sumpah
mardud, baik yang tertuduh,
maupun saksi, boleh disumpah
lebih dahulu jika diperlukan.
Pada masa Rasulullah SAW
yang menjadi hakim dan jaksa
penuntut umum adalah
Rasulullah sendiri dan hukum
yang hendak dijatuhkan wajib
menurut hukum yang
diturunkan Allah SWT. Dalam
firman-Nya dalam surat An-
Nissa 105: “Sesungguhnya
kami telah menurunkan
kepada engkau Al-Kitab (Al-
Qur’an) dengan yang
sebenarnya, (berisi
kebenaran), supaya engkau
dapat mengadili antara
sesamamu manusia, menurut
apa yang dinyatakan Allah
kepada engkau” dalam ayat
lain Allah berfirman pula:
“dan barang siapa yang tidak
menghukum dengan hukuman
yang diturunkan Allah, maka
mereka itu oang-orang yang
kafir” oleh sebab itu,
seseorang yang telah diangkat
menjadi hakim hendahlah
sangat sangat berhati-hati
dalam menjatuhkan hukuman
kepada manusia yang
bersalah. Jika hal itu terjadi,
maka seorang hakim telah
melakukan kezaliman yang
harus dipertanggung jawabkan
dihadapan Allah SWT
dikemudian hari. Sebab
diantara hakim berbeda-beda
dalam menjatuhkan hukuman.
Ada yang memberikan
kebenaran tanpa
memperhatikan mana yang
salah dan mana yang benar.
Dan ada pula yang Sungguh-
sungguh mencari kebenaran
dalam suatu perkara.
Berdasarkan hal itu hakim
terdiri atas tiga bagian,
sebagimana yang dinyatakan
oleh Nabi sebagai berikut:
Sabda Rasullulah SAW.
“Dari Abu Hurairah dari
bapaknya r.a dari Nabi SAW
bersabda beliau: “hakim itu
ada tiga macam di dalam
syurga tempatnya, dan yang
dua macam itu di dalam
neraka. Adapun yang di dalam
surga tempatnya ialah hakim
yang mengerti akan yang
benar. Lalu ia menghukum
dengan yang benar itu. Dan
hakim yang akan kekuasaan,
lalu dilakukannya penindasan
dalam menjalankan hukum
(karena disuap dan
sebagainya), maka dia akan
masuk neraka, dan hakim
yang menghukum manusia
atas kejahilan (ketidaktahuan)
maka ia tidak akan masuk
neraka”. Dengan demikian
dapat disimpulkan menurut
Nabi hakim terdiri dari:
a.Hakim yang mengerti akan
kebenaran dan menghukum
dengan benar (masuk surga)
b.Hakim yang mengerti akan
kekuasaan namun melakukan
penindasan (masuk neraka)
c.Hakim yang menghukum
manusia karena
ketidaktahuan (masuk neraka)
.
Oleh karena itu jabatan hakim
adalah jabatan yang penuh
tanggungjawab yang sangat
besar. Sabda Rasulullah SAW:
Dari Abu Hurairah r.a dari
Nabi SAW bersabda beliau:
“Barang siapa yang dijadikan
hakim di antara manusia
maka Sungguh ia telah
disembelih dengan tidak
memakai pisau”. Oleh sebab
itu banyak ulama-ulama yang
sadar, tidak mau diangkat
menjadi hakim jika sekiranya
masih ada orang lain yang
patut. Misalnya Ibnu Umar
takut menjadi hakim ketika
diminta oleh Utsman bin
Affan, imam Abu Hanifah
tidak mau menjadi hakim
ketika diminta oleh khalifah
Al Mansyur, hingga ia
dipenjarakan oleh khalifah Al-
Makmun. Namun kiranya
perlu ditugaskan bahwa
menerima jabatan hakim itu
fardhu kifayah hukumnya
diantara orang-orang yang
patut menjadi hakim.
2.Hal Yang Diwajibkan Dan
Diharamkan Hakim
a.Hakim wajib mencari
keadilan dalam mengadili
manusia
Di tangan hakimlah terletak
lepas dan terikatnya manusia
yang berperkara, sengsara
atau atau selamatnya mereka,
oleh karena itu seorang hakim
harus bersungguh-sungguh
mencari kebenaran agar
dapat menghukum dengan
seadil-adilnya. Allah
berfirman: “dan bila kamu
menghukum antara manusia,
supaya kamu menghukum
dengan seadil-adilnya. Firman
Allah SWT: “Dan ingatlah
Daud dan Sulaiman ketika
keduanya menghukum
perkara tanaman, ketika biri-
biri sesuatu kaum telah
merusak tanaman itu dan
kamilah yang menjadi saksi
dalam penghukuman mereka.
Lantas kami ajarkanlah hukum
itu kepada Sulaiman, dan
kepada keduanya kami
datangkan Hikmah dan ilmu.
Salah satu syarat bagi orang
yang diangkat menjadi hakim
adalah memiliki kemampuan
berijtihad dan bersungguh-
sungguh mencari hak dengan
berpedoman kepada jitab
Allah dan Sunnah Nabinya.
Sabda Rosulullah Saw : dari
Amru bin Ash, dari Nabi Saw
bersabda beliau : apabila
seorang hakim menghuku,
lalu ia berijtihad, maka betul
ijtihadnya itu, maksa baginya
tersedia dua pahala. Dan
apabila ia sebuah pahala”
keterangan lainnya: dari haris
bin amru, dari sahabat-
sahabat Muaz, bahwa
Rasulullah saw tatkala ,
mengutus Muaz ke Negeri
Yaman beliau bertanya
kepadanya : bagaimanakah
caranya engkau menghukum
(mengadili) ? Muaz
menjawab : aku menghukum
menurut apa yang ada dalam
kitab Allah, Rasulullah
bertanya pula : jika tidak ada
bertemu apa yang ada dalam
kitab Allah? Muaz menjawab,
lalu dengan Sunnah Rasulullah
saw. Rasulullah bertanya
pula : jika tidak bertemu
dengan Rasulullah dalam
Sunnah Rasulullah? Ia
menjawab : aku berijtihad
(aku berusaha sedapat-
dapatnya) menurut pikiranku.
Rasulullah menjawab :
Alhamdulillah (pujian-pujian
bagi Allah) yang telah
memberi taufik akan utusan
Rasulullah saw. Dengan
demikian nyatalah bahwa
hukum yang wajib dilakukan
terlebih dahulu adalah
menurut yang tertulis dalam
Al-qur’an. Jika tidak dapat
dalam Al-qur’an dicari dalam
hadits, jika tidak ditemukan
dalam hadits, dicari Ilat atau
persamaannya, inilah yang
disebut dengan ijtihad. Jika
tidak dapat dalam Al-qur’an
tetapi mempunyai ikatan atau
persamaan dengan perkara
lain atau hukumnya ada
dalam Al-qur’an dan hadits,
maka hukumnya disamakan
inilah yang disebut Qiyas yang
melakukan hendaklah yang
pandai berijtihad menurut
syar’i.
b.Kesopanan dalam
menghukum
Hakim adalah jabatan yang
tinggi dan mulai. Oleh sebab
itu seorang hakim hendaklah
berlaku sopan saat mengadili.
Sebab di tangan hakimlah
terletak keputusan bebas
tidaknya seseorang
terdakwah/tersangka, atau
penggugat dengan tergugat.
Oleh sebab itu dalam
mengadili suatu perkara
hendaklah dijaga: Pertama,
memeriksa perkara atau
memutuskan hukuman ketika
dalam keadaan marah, sebab
marah timbul dengan hawa
nafsu, biasanya membawa
kepada kebinasaan dan
kezaliman. Sabda Rasulullah
saw : dari Abdurahman bin
Abu Bakrah r.a berkata ia :
bersabda Rasulullah saw :
hakim tidak boleh
menjatuhkan hukuman kedua
orang yang berperkara ketika
ia sedang keadaan marah.
Dan jangan sampai
menjatuhkan hukuman dalam
keadaan :
1)sangat lapar dan haus
2)dalam keinginan birahi
(syahwat)
3)riang atau sedih
bersangkutan
4)sakit (kurang sehat)
5)datang atau buang air
6)datang angantuk
7)sangat panas atau sangat
dingin hal ini dikarenakan
semua itu dapat
mempengaruhi ketenangan
pikiran dan dapat pula
mengakibatkan ketidak adilan
dalam menjatuhkan hukuman.
Kedua, hendaklah
menyamakan pertanyaan,
tempat duduk dan sebagainya
antara dua orang yang
berperkara. Dari Abdullah bin
Zubair r.a berkata ia :
Rasulullah saw telah
menjatuhkan hukuman sedang
kedua orang yang berselisih
itu duduk di hadapan hakim.
Ketiga, hendaklah
mendengarkan dengan baik
keterangan kedua belah pihat
secara berganti – ganti. Sabda
Rasulullah saw. Dari Ali r.a
berkata ia: bersabda
Rasulullah saw : apabila
semua hukuman bagi orang
yang pertama sebelum
engkau akan mengetahui cara
menghukum mereka. Berkata
Ali : senantiasa aku menjadi
kadi (menghukum seperti itu)
sesudah itu. Digunakan
pengadilan itu diadakan
ditengah-tengah Negeri atau
tengah-tengah daerah
pemerintahan. Yaitu di ibu
kota, di tempat yang terlihat
dan jangan di mesjid, sebab
mesjid adalah tempat
beribadat.
c.Haram hukumnya bagi
seorang hakim dalam
menerima uang suap
Seorang hakim haram
menerima uang suap ataupun
hadiah dari pihak-pihat
berperkara, sebab hal itu
mempengaruhi perkara yang
sedang diadili, yang dapat
dimenangkan sedangkan yang
benar dapat disalahkan. Dari
Abu Hurairah r.a berkata ia :
telah dikutuki oleh Rasulullah
saw akan orang yang memberi
suap, atau yang menerimayan
dalam perkara huku. Uang
suap dapat membatalkan yang
hak dan membenarkan yang
batil. Dari Muaz bin Jabal r.a
berkata ia : telah di utus aku
oleh Rasulullah saw kenegeri
Yaman, takkala aku telah
berangkat diwaktu malam,
disuruhnya orang menyusul
daku dan disuruhnya aku
pulang, maka Rasulullah saw
bersabda : janganlah kamu
terima sesuatu dengan tidak
seizinku, sebab hal yang
semacam itu termasuk
penipuan dan siapa yang
menipu ia akan dihadapkan
dengan perbuatannya
(penipuan) itu di hari kiamat,
karena itulah engkau
dipanggil kemari, dan
sekarang teruslah engkau
berangkat untuk melakukan
tugasmu. Menurut pengarang
Subulussalam, hasil atau
keuntungan yang diperoleh
hakim ada empat macam,
antara lain :
1)Uang suap yaitu agar hakim
memutuskan hukum dengan
jalan yang tidak hak. Hukunya
haram bagi kedua pijak, baik
yang menerima atau yang
memberikannya. Namun
untuk menghukum dengan
jalan yang tidak hak maka
hukumnya bagi hakim namun
tidak haram atas orang yang
memberi.
2)Hadiah, apabila diberikan
oleh orang yang sebelum ia
menjadi hakim maka tidak
haram hukumnya, namun
apabila diberikan setelah ia
menjadi hakim maka haram
hukunya.
3)Upah. Bila hakim menerima
upah dari baitul mal atau dari
pemerintah maka hukumnya
haram. Jika tidak ada gaji,
boleh baginya mengambil
upah sesuai dengan
pekerjaanya.
4)Rezeki, pensiunan dari
jabatannya hakim yang
diangkat untuk suatu daerah
dalam Negara Islam, dapat
pensiunan (berhenti) dari
jabatannya karena :
Telah sampai kepadanya
kabar tentang
pemberhentiannya walaupun
orang yang dapat di percaya
begitu juga wakilnya.
Dia sendiri yang ingin
meninggalkan jabatan itu.
Rusak pikiran, gila, mabuk,
pitam dan sebagainya.
Fisik (kafir), yang tidak
diketahui sejak ia diangkat
atau datangnya sesudah
diangkat.
BAB II
KESIMPULAN
Hakim adalah seseorang yang
melakukan kekuasaan
kehakiman yang diatur
menurut undang-undang,
seseorang yang memutuskan
suatu perkara secara adil
berdasarkan bukti-bukti dan
keyakinan yang ada pada
dirinya sendiri.
Seorang hakim harus memiliki
integritas dan kepribadian
yang tidak tercela, jujur, adil,
professional, dan
berpengalaman di bidang
hukum, agar tidak keliru
dalam memutuskan suatu
perkara.
Berdasarkan hukum Islam
seorang hakim dapat
mengundurkan diri dari
persidangan apabila memiliki
kepentingan atau terikat
dengan keluarga sedarah atau
semanda sampai derajat
ketiga, atau hubungan suami
istri meskipun telah bercerai,
dengan ketua salah seorang
hakim anggota, jaksa,
advokat, atau panitera, hal ini
di maksudkan untuk menjaga
kemurnian adan independensi
peradilan agar seotang hakim
memutuskan suatu perkara
tidak secara subjektif yang di
sebabkan oleh hubungan
keluarga dan lain sebagainya
sebagaimana tersebut di atas
karena dikewatirkan seorang
hakim tidak dapat bertindak
adil terhadap pihak-pihak
yang menjadi keluarganya itu.
Jadi hukum melarang seorang
hakim untuk menangani
perkara yang melibatkan
orang-orang terdekatnya
untuk menjaga kemandirian
putusan yang dikeluarkannya.
Dalam pasal 28 ayat 1 undang-
undang pokok kehakiman,
hakim diwajibkan untuk
memperhatikan nilai-nilai
hukum pada yang ada pada
masyarakat dalam
memberikan putusan, hal ini
dikarenakan setiap
masyarakat dalam
memberikan putusan, hal ini
dikarenakan masyarakat
memiliki Pandangan yang
berbeda terhadap sesuatu
yang dianggap salah,
menyalahi aturan, atau
menyimpang. Dalam Islam
seseorang yang memutuskan
perkara di pengadilan di sebut
qadhi (hakim). Pada masa
Rasulullah saw masih hidup
yang menjadi hakim dan yang
menjadi jaksa penuntut umum
adalah Rasulullah saw sendiri
dan hukum yang hendak
dijatuhkan wajib menurut
hukum yang diturunkan Allah
swt. Menurut Nabi hakim
terdiri dari :
Hakim yang mengerti akan
kebenaran dan menghukum
dengan benar (masuk surga)
Hakim yang mengerti akan
kekuasaan namun melakukan
penindasan (masuk neraka)
Hakim yang menghukum
manusia karena
ketidaktahuan (masuk neraka)
satu syarat yang diangkat
menjadi hakim adalah
memiliki kemampuan
berijtihad dan bersungguh-
sungguh mencari hak dengan
berpedoman kepada kitab
Allah dan Sunnah Nabinya.
Hukum yang wajib dilakukan
terlebih dahulu adalah
menurut yang tertulis dalam
Al-qur’an. Jika tidak terdapat
dalam Al-qur’an barulah dari
dalam hadits, jika tidak
ditemukan dalam hadits, di
cari Ilat dan persamaannya,
inilah yang disebut dengan
ijtihad. Jika tidak terdapat
dalam Al-qur’an tetapi
mempunyai ikatan atau
persamaan dengan perkara
lain yang hukumnya ada
dalam Al-Qur'an dan hadits,
maka hukumnya disamakan
inilah yang disebut dengan
qiyas yang melakukan
hendaklah yang pandai
berijtihad menurut syar’i.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar