Minggu, 07 Juni 2009

MAKALAH GEOGRAFITENTANG SEJARAH IRIGASI

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Irigasi merupakan upaya yang
dilakukan manusia untuk
mengairi lahan pertaniannya.
Dalam dunia modern saat ini
sudah banyak model irigasi
yang dapat dilakukan
manusia. Pada zaman dahulu
jika persediaan air melimpah
karena tempat yang dekat
dengan sungai atau sumber
mata air, maka irigasi
dilakukan dengan
mangalirkan air tersebut ke
lahan pertanian. Namun
demikian irigasi juga biasa
dilakukan dengan membawa
air dengan menggunakan
wadah kemudian menuangkan
pada tanaman satu-persatu.
Untuk irigasi dengan model
seperti ini di Indonesia biasa
disebut menyiram.
Sebagaimana telah
diungkapkan, dalam dunia
modern ini sudah banyak cara
yang dapat dilakukan untuk
melakukan irigasi dan ini
sudah berlangsung sejak Mesir
Kuno.
Melihat kenyataan di atas,dan
sebagai salah satu tugas mata
kuliah Irigasi dan Keteknikan.
Kami ingin melakukan
penelitian tentang
pemanfaatan system perairan
irigasi yang mulai kering
karena musim kemarau yang
berkepanjangan.
Makalah tersebut kami
tuangkan dalam makalah
yang berjudul “Pemanfaatan
Sistem Perairan Irigasi Dari
Sungai Cimanuk”.
1.2. PERMASALAHAN DAN
PEMBATASAN MASALAH
A. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang
masalah tersebut di atas
maka permasalahan penting
yang akan kami teliti yaitu:
Apakah pemanfaatan perairan
irigasi dari sungai cimanuk
masih memiliki daya tarik bagi
masyarakat setempat, ditinjau
dari kekeringan karena musim
kemarau yang
berkepanjangan?
B. Pembatasan Masalah
Dalam makalah ini kami
membatasi masalah penting
yang akan di teliti yaitu:
a. penelitian ini di lakukan di
tempat system perairan irigasi
di sekitar sungai cimanuk.
b. Objek penelitian adalah
keadaan dan kondisi system
perairan irigasi di cimanuk
c. Waktu pelaksanaan di
lakukan satu bulan terakhir
terhitung tanggal 14
November s/d
16 Desember 2008.
1.3. TUJUAN PENELITIAN
Yang menjadi dasar untuk
tujuan penelitian ini adalah:
Dorongan untuk memberikan
informasi dan data secara
menyeluruh mengenai system
irigasi di cimanuk, serta
tentang kondisi dan keadaan
system irigasi tersebut kepada
pembaca. Sehingga pembaca
dapat mengetahui dan
mengenal system irigasi.
Dan mudah-mudahan dengan
adanya makalah ini di tangan
para pembaca,bias
memberikan dorongan untuk
memanfaatkan system
perairan irigasi dari sungai
cimanuk.
Tujuan penelitian ini bertujuan
untuk mengkaji potensi erosi,
hasil sedimen, dan mengkaji
penurunan debit minimum
yang terjadi disungai Cimanuk.
Pendekatan bidang
ekohidrologi sebagai
pendekatan interdisipliner
dalam memahami ekosistem
perairan dikenal sebagai
sarana manajemen yang
adaptif karena didasarkan
pada pengintegrasian
dinamika perairan dan
dinamika biota dalam suatu
kerangka kerja pada suatu
daerah tangkapan. Indonesia
ditunjuk sebagai Pusat
Ekohidrologi Regional Asia
Pasific, hal itu diharapkan
dapat memacu perkembangan
konsep ekohidrologi sebagai
pendekatan dalam
penyelesaian masalah-
masalah lingkungan. Dalam
rangka pendirian pusat
tersebut dilakukan persiapan
berupa prasarana dalam
bentuk penetapan waduk
Saguling sebagai studi kasus
permasalahan ekohidrologis
yang terjadi di daerah.
1.4. KEGUNAAN PENELITIAN
Hasil penelitian ini di harap
kan dapat memberikan
gambaran atau sumber
pemikiran yang terbaik untuk
terus mengembangkan dan
melestarikan system perairan
irigasi. Memiliki peranan
penting bagi masyarakat
sekitar.selain itu penelitian ini
di harapkan dapat membantu
mengenal lebih jauh tentang
pemanfaatan system perairan
irigasi.
1.5. METODE PENELITIAN
Metode yang di gunakan
dalam penelitian ini adalah:
Metode eksperimen atau
melakukan survai yang benar-
benar kuat.Yang selanjutnya
data tersebut di olah secara
bersama-sama dengan data
yang di kumpulkan dengan
cara mencari artikel-artikel
tentang system perairan
irigasi. Sehingga diharapkan
dapat menghasilkan
kesimpulan yang tepat.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Sejarah Irigasi di Indonesia
2.1.1. Sejarah Irigasi
Secara umum menjelaskan
perkembangan mulai dari
adanya usaha pembuatan
irigasi sangat sederhana,
perkembangan irigasi di
Mesir, Babilonia, India,dll
kemudian bagaimana
perkembangan irigasi di
Indonesia sampai saat
sekarang.
Di Bali, irigasi sudah ada
sebelum tahun 1343 M, hal ini
terbukti dengan adanya
sedahan (petugas yang
melakukan koordinasi atas
subak-subak dan mengurus
pemungutan pajak atas tanah
wilayahnya). Sedangkan
pengertian subak adalah “
Suatu masyarakat hukum adat
di Bali yang bersifat sosio
agraris relegius yang secara
historis tumbuh dan
berkembang sebagai suatu
organisasi di bidang tata guna
air di tingkat usaha tani” (PP.
23 tahun 1982, tentang Irigasi).
Di Indonesia irigasi tradisional
telah berlangsung sejak nenek
moyang kita. Hal ini dapat
dilihat juga cara bercocok
tanam pada masa kerajaan-
kerajaan yang ada di
Indonesia. Dengan
membendung kali secara
bergantian untuk dialirkan ke
sawah. Cara lain adalah
mencari sumber air
pegunungan dan dialirkan
dengan bambu yang
bersambung. Ada juga dengan
membawa dengan ember yang
terbuat dari daun pinang atau
menimba dari kali yang
dilemparkan ke sawah dengan
ember daun pinang juga.
2.1.2. Sistem Irigasi Zaman
Hindia Belanda
Sistem irigasi adalah salah
satu upaya Belanda dalam
melaksanakan Tanam Paksa
(Cultuurstelsel) pada tahun
1830. Pemerintah Hindia
Belanda dalam Tanam Paksa
tersebut mengupayakan agar
semua lahan yang dicetak
untuk persawahan maupun
perkebunan harus
menghasilkan panen yang
optimal dalam mengeksplotasi
tanah jajahannya.
Sistem irigasi yang dulu telah
mengenal saluran primer,
sekunder, ataupun tersier.
Tetapi sumber air belum
memakai sistem Waduk
Serbaguna seperti TVA di
Amerika Serikat. Air dalam
irigasi lama disalurkan dari
sumber kali yang disusun
dalam sistem irigasi terpadu,
untuk memenuhi pengairan
persawahan, di mana para
petani diharuskan membayar
uang iuran sewa pemakaian
air untuk sawahnya. Waduk
Jatiluhur 1955 di Jawa Barat.
Tennessee Valley Authority
(TVA) [1] yang diprakasai oleh
Presiden AS Franklin D.
Roosevelt pada tahun 1933
merupakan salah satu Waduk
Serba Guna yang pertama
dibangun di dunia [2]. Resesi
ekonomi (inflasi) tahun 1930
melanda seluruh dunia,
sehingga TVA adalah salah
satu model dalam
membangun kembali ekonomi
Amerika Serikat.
Isu TVA adalah mengenai:
produksi tenaga listrik,
navigasi, pengendalian banjir,
pencegahan malaria,
reboisasi, dan kontrol erosi.
Sehinga di kemudian hari
Proyek TVA menjadi salah
satu model dalam menangani
hal yang mirip. Oleh sebab itu
Proyek Waduk Jatiluhur
merupakan tiruan yang
hampir mirip dengan TVA di
AS tersebut.
Waduk Jatiluhur terletak di
Kecamatan Jatiluhur,
Kabupaten Purwakarta (±9 km
dari pusat Kota Purwakarta).
Bendungan itu dinamakan
oleh pemerintah Waduk Ir. H.
Juanda, dengan panorama
danau yang luasnya 8.300 ha.
Bendungan ini mulai dibangun
sejak tahun 1957 oleh
kontraktor asal Perancis,
dengan potensi air yang
tersedia sebesar 12,9 milyar
m3/thn.
2.2. Pengertian Irigasi
Irigasi merupakan suatu ilmu
yang memanfaatkan air untuk
tanaan mulai dari tumbuh
sampai masa panen. Air
tersebut diambil dari
sumbernya, dibawa melalui
saluran, dibagikan kepada
tanaman yang memerlukan
secara teratur, dan setelah air
tersebut terpakai, kemudian
dibuang melalui saluran
pembuang menuju sungai
kembali.
Irigasi dikehendaki dalam
situasi: (a) bila jumlah curah
hujan lebih kecil dari pada
kebutuhan tanaman; (b) bila
jumlah curah hujan mencukupi
tetapi distribusi dari curah
hujan tidak bersamaan dengan
waktu yang dikehendaki
tanaman.
2.2.1. Aspek irigasi
Menjelaskan tentang: Aspek
engineering dan Aspek
agricultural. Aspek
engineering menyangkut: (1)
Penyimpanan, penyimpangan,
dan pengangkutan (2)
membawa air ke lading
pertanian, (3) pemakaian air
untuk persawahan, (4)
pengeringan air yang
berlebihan, dan (5)
pembangkit tenaga air.
Aspek Agrikultural,
menyangkut: (1) kedalaman
pemberian air, (2) distribusi
air secara seragam dan
berkala, (3) kapasitan dan
aliran yang berbeda, dan (4)
reklamasi tanah tandus dan
tanah alkaline.
2.2.2. Tujuan irigasi
Tujuan utama irigasi adalah
untuk: Membasahi tanah,
merabuk, mengatur suhu
tanah, kolmatase,
membersihkan air kotor,
meninggikan air tanah,
pemeliharaan ikan
Pengaruh dan syarat-syarat
air guna irigasi.
Menjelaskan pengaruh air
yang ada pada suatu daerah
irigasi, dan bagaimana syarat-
syarat air yang diperlukan
untuk suatu daerah irigasi,
seperti : air yang berasal dari
dalam tanah; air berasal dari
sungai, air berasal dari
waduk, dananu, dan rawa;
(1) Syarat air terhadap
maksud irigasi, (2) syarat-
syarat air terhadap tanaman,
(3) pengaruh air irigasi
terhadap tanah, (4) pengaruh
Lumpur terhadap tanaman
2.2.3. Jenis Irigasi
1. Irigasi Permukaan
Irigasi Permukaan terjadi di
mana air dialirkan pada
permukaan lahan. Di sini
dikenal alur primer, sekunder
dan tersier. Pengaturan air ini
dilakukan dengan pintu air.
Prosesnya adalah gravitasi,
tanah yang tinggi akan
mendapat air lebih dulu.
2. Irigasi Lokal
Sistem ini air distribusikan
dengan cara pipanisasi. Di sini
juga berlaku gravitasi, di
mana lahan yang tinggi
mendapat air lebih dahulu.
Namun air yang disebar hanya
terbatas sekali atau secara
lokal.
3. Irigasi dengan
Penyemprotan
Penyemprotan biasanya
dipakai penyemprot air atau
sprinkle. Air yang disemprot
akan seperti kabut, sehingga
tanaman mendapat air dari
atas, daun akan basah lebih
dahulu, kemudian menetes ke
akar.
4. Irigasi Tradisional dengan
Ember
Di sini diperlukan tenaga kerja
secara perorangan yang
banyak sekali. Di samping itu
juga pemborosan tenaga kerja
yang harus menenteng ember.
5. Irigasi Pompa Air
Air diambil dari sumur dalam
dan dinaikkan melalui pompa
air, kemudia dialirkan dengan
berbagai cara, misalnya
dengan pipa atau saluran.
Pada musim kemarau irigasi
ini dapat terus mengairi
sawah.
2.3. Pengalaman Penerapan
Jenis Irigasi Khusus
2.3.1. Irigasi Pasang-Surut di
Sungai Cimanuk
Dengan memanfaatkan
pasang-surut air di wilayah
Garut, dikenal apa yang
dinamakan Irigasi Pasang-
Surat (Tidal Irrigation).
Teknologi yang diterapkan di
sini adalah: pemanfaatan
lahan pertanian di dataran
rendah dan daerah rawa-
rawa, di mana air diperoleh
dari sungai pasang-surut di
mana pada waktu pasang air
dimanfaatkan. Di sini dalam
dua minggu diperoleh 4
sampai 5 waktu pada air
pasang. Teknologi ini telah
dikenal sejak Abad XIX. Pada
waktu itu pendatang di Garut
memanfaatkan rawa sebagai
kebun kelapa. Di Indonesia
terdapat 5,6 juta Ha dari 34 Ha
yang ada cocok untuk
dikembangkan. Hal ini bisa
dihubungkan dengan
pengalaman Jepang di Wilayah
Sungai Chikugo untuk wilayah
Kyushu, di mana di sana
dikenal dengan sistem irigasi
Ao-Shunsui yang mirip.
2.3.2. Irigasi Tanah Kering
atau Irigasi Tetes
Di lahan kering, air sangat
langka dan pemanfaatannya
harus efisien. Jumlah air irigasi
yang diberikan ditetapkan
berdasarkan kebutuhan
tanaman, kemampuan tanah
memegang air, serta sarana
irigasi yang tersedia.
Ada beberapa sistem irigasi
untuk tanah kering, yaitu:
1. Irigasi tetes (drip irrigation),
2. Irigasi curah (sprinkler
irrigation),
3. Irigasi saluran terbuka
(open ditch irrigation),
4. Irigasi bawah permukaan
(subsurface irrigation)
Untuk penggunaan air yang
efisien, irigasi tetes. [3]
merupakan salah satu
alternatif. Misal sistem irigasi
tetes adalah pada tanaman
cabai.
Ketersediaan sumber air
irigasi sangat penting. Salah
satu upaya mencari potensi
sumber air irigasi adalah
dengan melakukan deteksi air
bawah permukaan
(groundwater) melalui
pemetaan karakteristik air
bawah tanah. Cara ini dapat
memberikan informasi
mengenai sebaran, volume
dan kedalaman sumber air
untuk mengembangkan irigasi
suplemen.
Deteksi air bawah permukaan
dapat dilakukan dengan
menggunakan Terameter.
2.4. Pengelolaan Air Sangat
Buruk
Musim hujan terendam air,
musim kemarau kering
kerontang. Demikian nasib 125
juta penduduk Pulau Jawa.
Setelah hampir empat ratus
ribu hektar sawah terendam
musim banjir lalu, kali ini
giliran kekeringan yang
melanda. Untuk areal sawah
saja, 204.322 hektar sudah
kering akhir Juli lalu. Bahkan,
19.562 di antaranya
mengalami puso. "Ini karena
kita tidak memiliki
manajemen air secara
terpadu," kata Dirjen Sumber
Daya Air Departemen
Permukiman dan Prasarana
Wilayah Roestam Sjarief.
Tidak padunya penanganan air
harus berhadapan dengan
antrean masalah. Sejumlah
masalah merupakan faktor
alam maupun iklim global.
Seperti karakteristik wilayah
tropik di mana 80 persen dari
total aliran permukaan
tersedia pada musim hujan
yang berdurasi lima bulan.
Sementara pada musim
kemarau yang berlangsung
tujuh bulan, hanya
menyediakan 20 persen air
untuk aliran permukaan.
Belum lagi efek global La
Nina dan El Nino yang datang
bergantian.
Faktor alam lalu berkawan
dengan kerusakan hutan yang
merusakkan kemampuan
tanah meresap air, terutama
di daerah aliran sungai (DAS).
Hal ini ditambah rusaknya
prasarana irigasi seperti
waduk dan saluran yang
sedianya dibuat untuk
"mengakali" alam. Semua hal
itu lalu berkolaborasi
membentuk suatu manajemen
air yang buruk. Padahal,
prinsip manajemen air
sebenarnya tidak muluk-
muluk: bagaimana caranya
mengendalikan kedatangan
air yang tidak merata itu.
Neraca air di Jawa-Bali selama
tahun 2003, kebutuhan
mencapai 38,4 miliar kubik,
sementara yang tersedia
hanya 25,3 miliar meter kubik.
Perkiraan Badan Meteorologi
Geofisika tentang kondisi
musim kemarau di tahun 2003,
tingkat kerawanan kekeringan
terjadi di 12 kabupaten di Jawa
Barat, yaitu Indramayu,
Tasikmalaya, Cirebon,
Kuningan, Ciamis, Sumedang,
Garut, Bandung, Cianjur,
Sukabumi, Serang, dan
Pandeglang. Sementara di
Jawa Tengah enam kabupaten,
yaitu Pati, Sragen, Boyolali,
Wonogiri, Cilacap, dan
Rembang. Di Jawa Timur ada
dua kabupaten, yaitu
Lamongan dan Tulungagung.
Sementara itu, Menteri
Negara Lingkungan Hidup
Nabiel Makarim
mengungkapkan, krisis air
bersih terparah terjadi di DKI
Jakarta, sedangkan Jawa Barat
mulai krisis air untuk
tanaman. Kondisi di Jateng
belum begitu parah.
"Wonogiri akan menjadi tolok
ukur kekeringan di wilayah
itu," kata Menteri.
Di Jawa Tengah, dua
kabupaten/kota rawan
kekeringan, pertanian rusak,
dan poso. Jumlah kerugian
sampai minggu lalu 30.000 KK
kesulitan airkarena keringnya
embung. Di Jatim, beberapa
daerah sudah dianggap rawan,
seperti Mojokerto, Sidoarjo,
Surabaya dan Pasuruan.
"Masalah ini harus dilihat
secara luas, tidak bisa
kekeringan sendiri atau banjir
sendiri," timpal Roestam.
Air yang jatuh ke permukaan
tanah dan potensial
menimbulkan banjir
diupayakan agar meresap ke
dalam tanah. Untuk itu,
permukaan DAS harus
maksimal menyerap air. Air
hujan yang secara optimal
meresap ke dalam tanah itu
nantinya akan mengisi
sumber- sumber air yang ada
di danau, situ, sungai, dan
waduk. Tujuannya, pada
musim kemarau, saat hujan
hampir tidak ada, debit airnya
bisa tetap terjaga. "Masalah
banjir diatasi dengan cara itu.
Dengan demikian, akan
mengatasi masalah
kekeringan juga," tambah
Roestam.
Konsep di atas kertas atau di
kepala lebih sering
berhadapan dengan kondisi
nyata di lapangan.
Penggundulan hutan yang
semakin lama semakin ke
arah hulu sungai membuat
kemampuan DAS menyerap
air berkurang. Jumlah air
permukaan yang mengalir
menjadi lebih banyak. Dengan
menggunakan istilah run off
coefficient, yaitu jumlah air
yang mengalir dibanding
jumlah air hujan yang turun
dapat dilihat akibat yang
ditimbulkan rusaknya hutan.
Menurut Roestam, untuk
daerah DAS berhutan, run off
coefficient mencapai 0,1-0,15,
atau dari 100 mm air hujan
yang menjadi sungai hanya 10
mm. Sementara untuk daerah
terbuka, seperti aspal, coef
bisa sampai 1.
Ujung-ujungnya memang
kemampuan penyerapan ini
tergantung pada penggunaan
tanah yang kalau dilihat dari
kacamata kebijakan
tergantung rencana tata
ruang. Masalahnya, rencana
tata ruang lebih banyak yang
tidak komprehensif. Bagai
memakai kaca mata kuda,
mata pembuat kebijakan
hanya melihat uang sebagai
tujuan komersial, sementara
perlunya keberadaan kawasan
konservasi untuk air sama
sekali tidak terlintas di
pikiran.
Kondisi yang ada saat ini,
menurut Roestam, dari 30
persen kawasan DAS yang
idealnya tersedia, hanya
tersisa 18 persen. Angka ini
berbeda dengan catatan
Kompas berdasarkan data
Badan Planologi Departemen
Kehutanan yang datanya
berdasarkan citra satelit, luas
daerah yang tertutup hutan
tinggal empat persen.
Dengan kondisi seperti itu,
dengan mudah disimpulkan,
Pulau Jawa tidak jauh dari
lubang jalan yang tidak
kunjung diperbaiki: hujan
besar akan timbulkan masalah
banjir, sebaliknya pada musim
kemarau, alam tidak bisa
mengisi ulang karena tidak
ada cadangan sehingga terjadi
kekeringan.
Jumlah DAS kritis terus
bertambah. Tahun 1984 jumlah
DAS kritis di Indonesia
mencapai 22 buah. Tahun 1992
meningkat 39 DAS, tahun 1998
menjadi 59 DAS. Kini dari total
62 DAS kritis di Indonesia, 26
ada di Jawa. Kemiskinan yang
melatarbelakangi tindakan
masyarakat, menurut
Roestam, merupakan
penyebab utama. Di Jawa
dengan jumlah penduduk yang
banyak dan padat,
masyarakat cari kehidupan
dengan membuka lahan baru
mendekati hulu. Akibat
perambahan dan oknum-
oknum yang terus merajalela,
hutan Jawa menjadi gundul.
Menteri Negara Lingkungan
Hidup Nabiel Makarim
mengatakan, dengan majunya
musim kekeringan tahun ini,
selain kekurangan air untuk
pengairan di lahan-lahan
pertanian, juga terjadi
penderitaan warga akan krisis
air bersih. Sebagai contoh,
warga Jakarta dan sekitarnya
menghadapi kekurangan
pasokan air. Dulu terdapat
sekitar 49 situ atau danau
kecil antara Bogor dan
Jakarta. Sekarang, banyak situ
diuruk dijadikan rumah dan
pusat-pusat perbelanjaan.
Padahal, situ itu untuk
menahan air.
Untuk lahan- lahan pertanian
yang mengalami kekeringan,
Roestam mengatakan,
sebenarnya pemerintah telah
mengantisipasi hal tersebut.
Caranya, pemerintah
membuat rencana pola tanam
yang di kabupaten ditangani
oleh Komisi Irigasi. Komisi ini
terdiri atas Dinas Pengairan,
Bapedda, P3A, dan BMG,
Dinas Pertanian, dan tentu
saja wakil petani. BMG
memberikan informasi
prediksi jumlah curah hujan
dan air yang tersedia.
Selanjutnya rencana tanam
disesuaikan dengan prediksi
yang ada. Misalnya, dengan
jumlah curah hujan yang
hampir pasti kurang, tidak
seluruh areal ditanami padi,
sebagian saja. "Sebagian
ditanami palawija, sebagian
padi sehingga cukup airnya,"
katanya.
Namun, pada prakteknya
petani sering kali melakukan
spekulasi dengan menanam
padi dengan harapan akan
ada hujan di musim kemarau
sesuai dengan pengalaman-
pengalaman sebelumnya.
Akibatnya, kebutuhan
meningkat sehingga air pasti
tidak cukup.
Data di Departemen
Kimpraswil, dampak
kekeringan bagi Pulau Jawa
mencapai 11,6 persen dari
luas sasaran masa tanam (MT)
II 1,8 juta hektar, yaitu 209.332
hektar. Kekeringan terbesar
terjadi di Jawa Barat yaitu
141.793 hektar sawah yang
merupakan 22,5 persen dari
sasaran MT II, 11.590 hektar
diantaranya mengalami puso.
Kekeringan sawah di Jawa
Tengah juga cukup besar,
yaitu 47.823 hektar atau 20,3
persen dari total MT. Di Jawa
Timur, relatif sedikit, yaitu 3,1
persen dari total sasaran MT II
atau seluas 14.706 hektar.
Sementara di Banten
kekeringan di Kabupaten
Pandeglang mencapai 5.000
hektar, sedangkan di DI
Yogyakarta tidak ada yang
mengalami kekeringan.
Curah hujan yang tidak
merata sepanjang tahun,
kondisi DAS yang rusak
rencananya hendak
dikendalikan dengan
prasarana irigasi. Namun, apa
daya, kondisi prasarana irigasi
yang dibangun pemerintah
serta waduk dan saluran
irigasi pun banyak yang rusak
parah. Dari total jaringan
irigasi di Pulau Jawa seluas
3,28 juta hektar, 379,761 ribu
hektar rusak.
Namun, sistem irigasi yang
tidak baik seperti misalnya
saluran irigasi penuh lumpur.
Jadi, datang dari hulu cukup,
namun di hilir menjadi sangat
berkurang karena tertahan
oleh lumpur. Dengan
demikian, petani merasa air
yang diperolehnya tidak cukup
atau tidak ada sama sekali.
Masalahnya, hal ini sangat
tergantung kemampuan
memelihara prasarana
pengairan yang dalam hal ini
berarti juga biaya
pemeliharaan. Sekitar 40-50
persen ditanggung oleh
pemerintah. Untuk daerah
diberikan di antaranya dana
alokasi khusus (DAK) untuk
spesifik pemeliharaan
prasarana irigasi. Evaluasi
atas pemeliharaan saluran
irigasi bisa menjadi rapor bagi
daerah.
Selain biaya investasi,
operasional, dibutuhkan biaya
konservasi sumber air,
sesuatu yang menjadi sasaran
pemerintah dalam RUU
Sumber Daya Air. Masyarakat
memandang ini sebagai
privatisasi air, nanti semua
untuk dapat air harus bayar.
Sementara pemerintah,
menurut Roestam,
beranggapan, masyarakat
akan mendapat air sesuai
dengan kemampuannya.
Semakin tinggi seseorang
berani membayar, semakin
tinggi kualitas air yang
diperolehnya.
Sementara itu, bagi
masyarakat tidak mampu,
pemerintah berjanji akan
menyediakan berbagai
fasilitas seperti tangki- tangki
air di mana hal ini berupa
subsidi. "Itu yang sekarang
sedang dibahas di RUU
Sumber Daya Air," kata
Roestam. Pemerintah selalu
menyatakan tidak memiliki
uang, bahkan untuk
pemeliharaan prasarana dan
konservasi. Janjinya dana dari
pembayaran air bersih orang-
orang yang mampu akan
digunakan untuk prasarana
dan konservasi.
Menurut Roestam, rehabilitasi
DAS kritis, per hektar
dibutuhkan Rp 5 juta-Rp 6 juta.
Luas lahan kritis di Indonesia
mencapai 3 juta hektar,
sebagian besar ada di Jawa,
yang menurut catatan Kompas
berjumlah 2,481 juta hektar.
Dihitung-hitung dibutuhkan Rp
12,405 triliun untuk rehabilitasi
DAS.
2.5. Bencana Itu Makin Lama
Tambah Parah
Tanda bahaya itu sebenarnya
sudah dibunyikan sejak awal
tahun 2008 yaitu musim kering
datang lebih cepat dari
perkiraan. Sekitar
pertengahan Mei lalu, hujan
mulai enggan turun di daerah
pantai utara (pantura), yaitu
Kabupaten Cirebon dan
Indramayu, yang menjadi
kawasan lumbung padi Jawa
Barat.
Berbagai peringatan dini
sudah diberikan sejak awal
oleh Dinas Pertanian setempat
melalui media massa.
Pertama adalah peringatan
kepada para petani berupa
imbauan untuk mempercepat
awal tanam atau tidak
menanam padi pada musim
gadu tahun ini.
Peringatan kedua ditujukan
kepada pihak pemerintah,
mulai dari pemerintah
kabupaten, pemerintah
provinsi, hingga pemerintah
pusat, dalam bentuk
permintaan bantuan pompa
air dan bibit kacang hijau
sebagai tanaman pengganti.
Semuanya dimaksudkan untuk
menghindari terulangnya
bencana kekeringan yang
melanda daerah ini tahun lalu.
Namun, entah mengapa dan
bagaimana, berbagai
peringatan dini itu seolah-olah
dibiarkan berlalu begitu saja.
Para petani tetap menanam
padi dengan pola seperti
biasa, sedangkan bantuan
pompa maupun bibit tanaman
pengganti dari pemerintah
tidak segera turun, mungkin
dengan anggapan bahwa titik
bencana itu masih jauh di
mata sehingga tidak perlu
buru-buru menurunkan
bantuan.
Sampai akhirnya, tanda-tanda
kekeringan itu mulai tampak
nyata ketika memasuki Juni
lalu. Tanggal 4 Juni, tanah
sawah di Desa Wanakaya,
Kecamatan Cirebon Utara,
sudah terlihat retak-retak
karena tidak terairi sama
sekali selama lebih dari
seminggu. Tanaman padi yang
baru berusia 1-7 minggu
dalam keadaan terancam.
Bencana mulai terjadi.
Kekeringan terus meluas di
daerah-daerah sentra
produksi padi. Para petani,
meski agak terlambat, mulai
menanam tanaman pengganti
padi, seperti kacang hijau,
kacang panjang, semangka,
dan mentimun suri. Sementara
para petani yang sudah
telanjur menanam padi
mendesak agar bantuan
pompa air segera diberikan,
mumpung masih ada air di
saluran-saluran irigasi.
Akan tetapi, seperti hal-hal
lain yang ditangani
pemerintah, segalanya terasa
lamban dan penuh hambatan
birokrasi, termasuk janji-janji
pemberian bantuan. Menurut
Sathori, Pemkab Cirebon
sebenarnya sudah menyiapkan
dana bantuan sebesar Rp 400
juta untuk pengadaan pompa
air dan Rp 100 juta untuk
benih kacang hijau.
Namun, dikhawatirkan,
bantuan tersebut tidak akan
sampai tepat pada waktunya
karena proses birokrasi yang
terlalu lama. "Saat ini,
bantuan pompa itu sedang
diusulkan masuk dalam rapat
perubahan anggaran APBD
dengan DPRD. Paling cepat
baru satu bulan lagi dana
bantuannya akan cair untuk
membeli pompa. Dan saat itu
semua dikhawatirkan sudah
terlambat," kata Sathori awal
Juni lalu.
Demikian juga bantuan dari
Pemerintah Provinsi
(Pemprov) Jabar dan
pemerintah pusat yang tidak
kunjung tiba. Pada akhirnya,
perubahan alam yang begitu
cepat dan ganas tidak dapat
ditanggulangi oleh manusia
yang serba tidak serius dan
cenderung meremehkan
kekuatan alam. Dan pada
kenyataannya, berbagai
bantuan itu memang akhirnya
turun sangat lambat, yaitu
sekitar akhir Juli dan awal
Agustus, saat semuanya sudah
terlambat.
Dalam waktu satu setengah
bulan, musim kemarau yang
semula dianggap sebagai
fenomena alam yang wajar
dan tidak membahayakan
telah berubah menjadi
bencana yang nyata.
Kekeringan tidak saja terjadi
dan mengancam sektor
pertanian, tetapi juga telah
meluas dan mulai mengancam
bidang- bidang lainnya setelah
sumber- sumber air bersih
untuk keperluan minum,
memasak, serta mandi, cuci,
dan kakus (MCK) ikut
mengering.
2.6. Krisis Air di Pulau Jawa
Dalam "Diskusi Teknik
Kehutanan" akhir tahun lalu
di Jakarta, Badan Planologi
Departemen Kehutanan
mengeluarkan data luas hutan
Pulau Jawa yang cukup
mengerikan. Luas kawasan
yang masih berhutan atau
lahan yang masih ditutup
pepohonan di Jawa tahun
1999/2000 hanya empat
persen. Kawasan itu sebagian
besar merupakan wilayah
tangkapan air pada daerah
aliran sungai (DAS). Data ini
memang bersifat indikatif,
tetapi diambil dari interpretasi
citra satelit.
Apabila melihat distribusi
hujan yang tidak merata
sepanjang tahun di Jawa, di
mana 80 persen hujan jatuh di
musim penghujan dan sisanya
20 di musim kemarau-dengan
kondisi DAS yang sudah tidak
mampu lagi menahan dan
menyimpan air-dipastikan
potensi yang 80 persen itu
akan terbuang percuma ke
laut tanpa sempat
dimanfaatkan. Malah hujan
tersebut kerap kali
menyebabkan terjadinya
banjir yang dirasakan semakin
intensif dan signifikan,
sementara kebutuhan air di
musim kemarau tidak lagi
dapat dipenuhi.
Kondisi hutan selalu dikaitkan
dengan bencana alam, banjir,
dan longsor. Karena itu, luas
hutan ideal untuk mendukung
keseimbangan ekosistem-
seperti yang tercantum dalam
Undang-Undang (UU) Nomor
41 tentang Kehutanan-minimal
harus 30 persen dari luas
wilayah. Luasan hutan itu
dimaksudkan untuk menjamin
ketersediaan sumber daya air
bagi kehidupan. Malah
Pemerintah Provinsi
(Pemprov) Jawa Barat
menargetkan luas kawasan
hutan di wilayahnya minimal
harus 45 persen dari luas
wilayah.
ni mengingat topografi
wilayah Jawa Barat yang
berbukit dan bergunung-
gunung harus dipertahankan
hutannya untuk menopang
ketersediaan air, baik bagi
pertanian, air minum
masyarakat, maupun
pembangkit tenaga listrik di
Waduk Saguling, Cirata, dan
Jatiluhur. Pembangkit listrik
tenaga air (PLTA) yang
digerakkan turbin air di ketiga
waduk itu merupakan
pemasok listrik pada
interkoneksi Jawa-Bali. Ketiga
waduk ini menampung air dari
Sungai Citarum yang kawasan
DAS-nya sudah rusak parah.
Sementara itu, Balai
Pemantapan Kawasan Hutan
Jawa-Madura
menggambarkan, kawasan
hutan Jawa yang seluas
3.289.131 hektar saat ini
keadaannya benar-benar
menyedihkan. Sebagai
gambaran umum, luas lahan
kritis di dalam kawasan hutan
Pulau Jawa yang memerlukan
rehabilitasi tercatat 1,714 juta
hektar atau mencapai 56,7
persen dari luas seluruh hutan
yang ada. Itu terdiri atas
hutan lindung dan konservasi
yang rusak seluas 567.315
hektar serta hutan produksi
tak berpohonan seluas
1.147.116 hektar.
Kondisi tersebut diperparah
oleh meluasnya lahan kritis di
luar kawasan hutan yang
telah mencapai 9,016 juta
hektar sehingga total lahan
yang perlu direhabilitasi
mencapai 10,731 juta hektar
atau 84,16 persen dari luas
seluruh daratan Pulau Jawa.
Pulau Jawa yang luasnya
hanya tujuh persen dari
seluruh luas daratan Indonesia
disesaki oleh 65 persen
penduduk Indonesia atau
sekitar 125 juta jiwa.
Sementara dari sudut potensi
air hanyalah 4,5 persen dari
total potensi air di Indonesia
sehingga menimbulkan
benturan kepentingan
(conflict of interest). "Melihat
kondisi Jawa seperti ini,
dipandang dari segi
pengembangan sumber daya
air, sudah termasuk kategori
kritis," ungkap Direktur
Jenderal (Dirjen) Sumber Daya
Air (SDA) Departemen
Permukiman dan Prasarana
Wilayah Roestam Sjarief.
Menurut Badan Lingkungan
Perserikatan Bangsa-Bangsa
(UNEP), kebutuhan air dunia
meningkat dua sampai tiga
persen per tahun, sedangkan
ketersediaan air senantiasa
tetap, bahkan cenderung
menurun, terutama apabila
ditinjau dari segi kualitas. Di
Indonesia diperkirakan total
kebutuhan air akan meningkat
lebih dari 200 persen pada
kurun waktu 1990-2020.
Dengan kebutuhan yang ada
sekarang pun, beberapa
sungai di Pulau Jawa pada
musim kemarau sudah tidak
mampu lagi memenuhi
kebutuhan tersebut.
Dengan cepatnya
perkembangan pusat-pusat
pertumbuhan di kawasan
pantai utara Jawa, kebutuhan
air meningkat tajam. Namun,
perkembangan itu tidak
sebanding lagi dengan
peningkatan upaya
penyediaannya atau bahkan
melebihi potensi sumber daya
air yang ada. Ini menyebabkan
terjadinya defisit air.
Terbatasnya tempat- tempat
penampungan air serta
semakin parahnya kondisi
lingkungan dan DAS,
menyebabkan
terakumulasinya kompleksitas
permasalahan yang dihadapi.
Melihat fakta ini,
dikhawatirkan pemenuhan
kebutuhan air yang memadai
bagi masyarakat akan
semakin jauh dari jangkauan.
Karena itu, perlu dipikirkan
dan dicermati bersama upaya-
upaya pengembangan sumber
daya air yang lebih efektif dan
mampu menjawab tantangan
di atas. Ini mengingat tekanan
akibat pertumbuhan penduduk
menyebabkan kecenderungan
terjadinya perubahan kondisi
daerah hulu sungai serta
kerusakan hutan penutup
catchment area, yang
sebetulnya perlu dijaga guna
menjamin tersedianya dan
terjamin meratanya
keberadaan air sepanjang
tahun.
DIRJEN SDA menjelaskan,
upaya pengembangan wilayah
sungai dalam rangka
mengembangkan dan
mendayagunakan sumber
daya air sekaligus
pengelolaan dan konservasi
sumber daya air telah
dikembangkan di berbagai
wilayah sungai di Jawa. Baik
yang bersifat single basin
maupun multiriver basin, yang
semuanya diarahkan agar
dapat mengatasi
permasalahan air yang ada.
Contohnya pengembangan
wilayah Sungai Citarum,
Ciliwung-Cisadane, Cimanuk-
Cisanggarung, Citanduy-
Ciwulan, Serayu-Bogowonto,
Jratunseluna, dan
pengembangan wilayah Sungai
Brantas.
Masalahnya, hanya sebagian
atau kurang dari 15 persen
prasarana pengairan yang
mampu menjamin tersedianya
air hampir sepanjang tahun,
melalui waduk dan reservoir
yang ada. Selebihnya seperti
bangunan- bangunan bendung
pengambilan air bersifat run
off river yang mengandalkan
sepenuhnya pada fluktuasi air
di sungai apabila terjadi
kekeringan bangunan ini tidak
mampu mengatasinya.
Merunut permasalahan yang
dihadapi di Pulau Jawa serta
melihat tingkat kekritisan
potensi sumber daya air dan
penggunaannya, konsep
bagaimana menampung air
pada saat kelebihan di musim
hujan serta mengatur dan
memanfaatkan air saat
kemarau menjadi sangat
relevan.
2.7. Reformasi Sumber Daya
Air di Indonesia
Indonesia membutuhkan
reformasi pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya air
(SDA). Ada sejumlah alasan
mengapa reformasi tersebut
perlu dilakukan. Pertama,
sektor air di Indonesia tidak
mampu untuk memenuhi
pertumbuhan dan berbagai
tuntutan sebagai konsekuensi
akibat meningkatnya populasi.
Kebutuhan air untuk
keperluan rumah tangga,
industri, dan pertanian
meningkat, tetapi gagal
dipenuhi dan diantisipasi oleh
berbagai institusi pemerintah
yang bertanggung jawab bagi
penyediaan sarana air yang
bersih dan memadai.
Hal ini dapat dilihat dari
reaksi berbagai pihak yang
seakan-akan kebakaran
jenggot dengan munculnya
gejala kekeringan di banyak
daerah di Indonesia akhir-
akhir ini. Kedua, regulasi dan
institusi yang mengatur SDA
yang ada saat ini sangat
kompleks, tumpang tindih,
dan tidak relevan terhadap
berbagai kecenderungan
(trends) yang berlaku.
Undang-Undang (UU) Nomor
11 Tahun 1974 mengenai
Pengairan, serta sejumlah
peraturan turunan lainnya
yang mengatur sektor air
tidak lagi memadai sebagai
instrumen hukum dalam
mengatur sumber daya air
yang perkembangan
masalahnya sudah
multidimensional.
Dengan desakan dan pinjaman
(loans) dari lembaga-lembaga
internasional seperti Bank
Dunia dan Bank Pembangunan
Asia, proses reformasi sektor
SDA dimulai sejak tahun 1999.
Proses ini diawali dengan
menyiapkan perangkat UU
Sumber Daya Air yang baru
untuk menggantikan UU
Pengairan, yang menurut
penulis prosesnya dipaksa
untuk dipercepat dan
tertutup.
Saat ini RUU Sumber Daya Air
sedang dibahas di DPR. Upaya
lain yang sedang dilakukan
adalah melakukan sejumlah
perubahan kebijakan di level
makro dan mikro, misalnya
kebijakan mengenai irigasi,
pembentukan sistem dan
jaringan data hidrologi
nasional.
Yang menjadi pertanyaan
kemudian, apakah reformasi
SDA dilandasi oleh paradigma
yang tepat dan apakah
reformasi tersebut mampu
memberikan jawaban atas
berbagai tantangan yang
dihadapi sektor ini?
Dengan membaca RUU
Sumber Daya Air, dapat
dipahami adanya cara
pandang yang berubah atas
sumber daya air. Air tidak lagi
sekadar barang publik (public
goods), tetapi sudah menjadi
komoditas ekonomi.
Pandangan tradisional melihat
air sebagai barang publik yang
tidak dimiliki oleh siapa pun,
melainkan dalam bentuk
kepemilikan bersama (global
commons), sumber daya alam
yang dikelola secara kolektif,
bukan untuk dijual atau
diperdagangkan guna
keuntungan tertentu.
Hal tersebut didasarkan pada
kenyataan bahwa tidak ada
seorang pun dapat
menciptakan air. Paradigma
tradisional ini bertentangan
dengan paradigma
pengelolaan air modern yang
berdasarkan pada nilai
ekonomi intrinsik dari air,
yang dilandasi pada asumsi
adanya keterbatasan dan
kelangkaan air, serta
dibutuhkannya investasi atau
biaya untuk penyediaan air
bersih.
Perdebatan antarkelompok
yang mengusung kedua
paradigma tersebut masih
terus berlangsung. Kalangan
organisasi nonpemerintah
(ornop) menganggap bahwa
air sudah seharusnya menjadi
bagian hak asasi manusia dan
menjadi tugas negara untuk
menyediakannya. Dengan
demikian, segala upaya
komodifikasi dan privatisasi
air seharusnya tidak
diperbolehkan.
Penjelasan pasal RUU SDA
juga menyatakan bahwa untuk
meningkatkan efisiensi dan
peran masyarakat dan swasta,
pemerintah dapat menjalin
kerja sama kemitraan dengan
badan usaha dan perorangan
dalam bentuk pembiayaan
investasi pembangunan
prasarana sumber daya air
maupun dalam penyediaan
jasa pelayanan atau
pengoperasian prasarana
pengairan. Bentuknya dapat
berupa kontrak BOT,
perusahaan patungan, kontrak
pelayanan, kontrak
manajemen, kontrak konsesi,
kontrak sewa, dan
sebagainya.
Implikasi dari dominannya
peran swasta adalah dalam
hal menetapkan biaya
penyediaan air dan harga air.
Dari pengalaman selama ini,
perusahaan swasta selalu
menetapkan prinsip pemulihan
biaya penuh (full cost
recovery) untuk
memaksimalkan profit dan
mempercepat pengembalian
modal.
Prinsip tersebut pada
praktiknya bertentangan
dengan hak rakyat atas air,
terlebih pada kelompok
masyarakat miskin. Kelompok
masyarakat miskin kota dan
petani kecil adalah contoh
kelompok-kelompok yang
rentan terampas hak dasarnya
atas air.
Dominannya paradigma air
sebagai komoditas ekonomi
dalam RUU SDA melahirkan
sejumlah tantangan untuk
memenuhi tujuan akhir dari
proses reformasi ini, yaitu
penyediaan air yang efisien
dan berkeadilan (equitable).
Sangatlah penting memberi
perlindungan terhadap hak
atas air sebagai hak dasar
umat manusia dari upaya-
upaya komersialisasi air yang
berlebihan dan menjamin
bahwa reformasi sumber daya
air dapat memberikan
kesempatan dan pelayanan
yang lebih baik bagi kelompok
miskin dengan harga yang
terjangkau.
Reformasi SDA harus mampu
mempersiapkan aspek
kelembagaan dan peraturan
yang dapat menjadi platform
bersama bagi tujuan-tujuan di
atas.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari teori kesetimbangan ini
curah hujan yang jatuh di
sawah (Reff) bukan 70 %
seperti pada metoda
konvensional. Akan tetapi
besarnya jadi bervariasi sesuai
dengan kondisi di lapangan
dan air yang dibutuhkan untuk
sawah setelah teijadi infiltrasi
dan genangan, sehingga dari
basil perhitungannya Reff ini
dapat diklasifikasikan sesuai
dengan curah hujannya.
Secara garis besar dari kajian
ini dapa disimpulkan bahwa
perhitungan kebutuhan air
dengan metode keseimbangan
air lebih efisien dengan hasil
yang lebih optimal bila
dibandingkan dengan metode
konvensional. Ini juga sangat
cocok dilaksanakan pada DI
Leuwi Goong mengingat
kondisi alamnya yang
mempunyai perbedaan tinggi
curah hujan yang sangat jauh
antara musim bujan dan
musim kemarau. Kebutuhan
air dengan metode
konvensional 1.95 I/dt/ha
sedangkan dengau metode
keseimbangan 1.06 lt/dt/ha
sehingga dari hasil simulasi
untuk Intensitas tanam yang
dihasilkan dengan metoda
kesetimbangan lebih besar
daripada metoda konvensional
yaitu diperoleh intensitas
tanam yang mempunyai luas
6771 ha yaitu 278,17 %, angka
ini jauh lebih besar
dibandingkan dengan
intensitas tanamnya dengan
metoda konvensional dari luas
5271 ha yaitu 215 %. Karena
perbedaan luasnya yang
cukup tinggi mencapai 1500 ha
memungkinkan sekitar 20
areal irigasi tadah hujan
menjadi areal irigasi teknis.
B. Saran
Sebagai saran dari kesimpulan
yang diambil mengenai
pemilihan besar intensitas
tanam agar kajian dilanjutkan,
lebih menguntungkan mana
areal yang lebih besar atau
intensitas tanam yang lebih
besar, ditinjau dari segi
ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA
Tesis Magister Program Studi
Teknik Sipil Bidang Khusus
Pengembangan Sumber Daya
Air
Website : http://mitra-pelajar-
computer.bolgspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar