Senin, 20 Juli 2009

MAKALAH ILMU PENDIDIKANTENTANG PENGARUHKETERLIBATAN ORANG TUATERHADAP MINAT MEMBACAANAK DITINJAU DARIPENDEKATAN STRESLINGKUNGAN

BAB I
PENDAHULUAN
Tiap bulan September
diperingati sebagai Bulan
Gemar Membaca dan Hari
Kunjung Perpustakaan.
Melalui peingatan itu
diharapkan masyarakat
menjadi gemar membaca,
khususnya anak-anak Sekolah
Dasar (SD); sebab membaca
adalah kunci untuk
keberhasilan belajar siswa di
sekolah. Kemampuan
membaca dan minat membaca
yang tinggi adalah modal
dasar untuk keberhasilan
anak dalam berbagai mata
pelajaran.
Sejak tahun 1995 sampai
sekarang, media massa selalu
memuat berita mengenai
minat membaca masyarakat,
terutama minat membaca
anak-anak SD. Misal harian
Suara Merdeka menulis tajuk
rencana dengan judul
Kegemaran Membaca Belum
Seperti Yang Diharapkan
(Suara Merdeka, 1995).
Kompas memuat artikel
Rumah Baca, Upaya
Menumbuhkan Minat Baca
(Kompas, 1995) dan Pikiran
Rakyat (2000) melalui tulisan
Wakidi yang berjudul Minat
Membaca Anak Sekolah Dasar
juga ikut prihatin dengan
minat membaca anak SD yang
rendah. Media elektronik
seperti televisi juga ikut
menayangkan iklan layanan
masyarakat untuk
meningkatkan minat
membaca.
Tulisan di surat kabar dan
tayangan iklan layanan
masyarakat di televisi pada
intinya menyuarakan
kepihatinan terhadap minat
membaca anak-anak yang
masih rendah. Padahal
masalah minat membaca
merupakan persoalan yang
penting dalam dunia
pendidikan. Anak-anak SD
yang memiliki minat membaca
tinggi akan berprestasi tinggi
di sekolah, sebaliknya anak-
anak SD yang memiliki minat
membaca rendah, akan
rendah pula prestasi
belajarnya (Wigfield dan
Guthrie, 1997).
Hampir tiap tahun orang tua
diingatkan untuk
menanamkan dan
menumbuhkan minat
membaca anak melalui media
massa, namun keluhan bahwa
minat membaca anak tetap
rendah masih selalu
terdengar. Nampaknya belum
ditemukan cara yang efektif
untuk melibatkan orang tua
dalam menolong
meningkatkan minat
membaca. Belum banyak
diteliti mengenai faktor-faktor
yang menentukan bagaimana
cara melibatkan orang tua
untuk meningkatkan minat
membaca anak. Pemahaman
terhadap faktor-faktor
tersebut dapat digunakan
untuk mengembangkan
intervensi yang efektif untuk
meningkatkan keterlibatan
orang tua dalam
menumbuhkan minat
membaca anak di keluarga
masing-masing.
Kesulitan untuk melibatkan
orang tua menjadi makin
bertambah pada keluarga
dengan sosial ekonomi
rendah. Krisis ekonomi,
bencana alam dan kerusuhan
di beberapa daerah di
Indonesia menambah jumlah
keluarga miskin sehingga
mereka tersisih dari
kehidupan kota dan tinggal di
kantong-kantong kemiskinan.
Mereka sering mengalami
pertengkaran dalam masalah
keuangan keluarga sehingga
mengalami stres tiap hari.
Stres ini mkin bertambah
tinggi oleh stres kerja, tinggal
di daerah kumuh, panas,
bising dan sesak, persoalan
kegagalan pendidikan anak
dan laju kelahiran anak yang
sulit dikendalikan. Tumpukan
stres ini menyita dan
membuang energi orang tua
untuk hal yang negatif dan
perhatian mereka tidak
terpusat untuk terlibat
menolong anak dalam
membaca sehingga minat
membaca anak tidak tumbuh
dan berkembang.
Berdasarkan permasalahan
tersebut, maka secara
berurutan akan dibahas
mengenai minat membaca
anak, pendekatan stres
lingkungan dan yang terakhir
pengaruh keterlibatan orang
tua terhadap minat membaca
anak ditinjau dari pendekatan
stres lingkungan.
BAB II
MINAT MEMBACA
A. Minat Membaca Anak
Aktivitas membaca akan
dilakukan oleh anak atau
tidak sangat ditentukan oleh
minat anak terhadap aktivitas
tersebut. Di sini nampak
bahwa minat merupakan
motivator yang kuat untuk
melakukan suatu aktivitas.
Secara umum minat dapat
diartikan sebagai suatu
kecenderungan yang
menyebabkan seseorang
berusaha untuk mencari
ataupun mencoba aktivitas-
aktivitas dalam bidang
tertentu. Minat juga diartikan
sebagai sikap positif anak
terhadap aspek-aspek
lingkungan. Ada juga yang
mengartikan minat sebagai
kecenderungan yang tetap
untuk memperhatikan dan
menikmati suatu aktivitas
disertai dengan rasa senang.
Meichati (1972) mengartikan
minat adalah perhatian yang
kuat, intensif dan menguasai
individu secara mendalam
untuk tekun melalukan suatu
aktivitas.
Aspek minat terdiri dari aspek
kognitif dan aspek afektif.
Aspek kognitif berupa konsep
positif terhadap suatu obyek
dan berpusat pada manfaat
dari obyek tersebut. Aspek
afektif nampak dalam rasa
suka atau tidak senang dan
kepuasan pribadi terhadap
obyek tersebut.
Membaca adalah proses untuk
memperoleh pengertian dari
kombinasi beberapa huruf dan
kata. Juel (1988) mengartikan
bahwa membaca adalah
proses untuk mengenal kata
dan memadukan arti kata
dalam kalimat dan struktur
bacaan. Hasil akhir dari
proses membaca adalah
seseorang mampu membuat
intisari dari bacaan.
Secara operasional Lilawati
(1988) mengartikan minat
membaca anak adalah suatu
perhatian yang kuat dan
mendalam disertai dengan
perasaan senang terhadap
kegiatan membaca sehingga
mengarahkan anak untuk
membaca dengan
kemauannya sendiri. Aspek
minat membaca meliputi
kesenangan membaca,
kesadaran akan manfaat
membaca, frekuensi membaca
dan jumlah buku bacaan yang
pernah dibaca oleh anak.
Sinambela (1993) mengartikan
minat membaca adalah sikap
positif dan adanya rasa
keterikatan dalam diri anak
terhadap aktivitas membaca
dan tertarik terhadap buku
bacaan. Aspek minat
membaca meliputi
kesenangan membaca,
frekuensi membaca dan
kesadaran akan manfaat
membaca.
Berdasar pendapat-pendapat
di atas maka dapat
disimpulkan bahwa minat
membaca adalah kekuatan
yang mendorong anak untuk
memperhatikan, merasa
tertarik dan senang terhadap
aktivitas membaca sehingga
mereka mau melakukan
aktivitas membaca dengan
kemauan sendiri. Aspek minat
membaca meliputi
kesenangan membaca,
frekuensi membaca dan
kesadaran akan manfaat
membaca.
Minat membaca perlu
ditanamkan dan ditumbuhkan
sejak anak masih kecil sebab
minat membaca pada anak
tidak akan terbentuk dengan
sendirinya, tetapi sangat
dipengaruhi oleh stimulasi
yang diperoleh dari
lingkungan anak. Keluarga
merupakan lingkungan paling
awal dan dominan dalam
menanamkan, menumbuhkan
dan membina minat membaca
anak. Orang tua perlu
menanamkan kesadaran akan
pentingnya membaca dalam
kehidupan anak, setelah itu
baru guru di sekolah, teman
sebaya dan masyarakat.
Mulyani (1978) berpendapat
bahwa tingkat perkembangan
seseorang yang paling
menguntungkan untuk
pengembangan minat
membaca adalah pada masa
peka, yaitu sekitar usia 5 s/d 6
tahun. Kemudian minat
membaca ini akan
berkembang sampai dengan
masa remaja.
Minat membaca pertama kali
harus ditanamkan melalui
pendidikan dan kebiasaan
keluarga pada masa peka
tersebut. Anak usia 5 s/d 6
tahun senang sekali
mendengarkan cerita. Mula-
mula mereka tertarik bukan
pada isi ceritanya, tetapi pada
kenikmatan yang diperoleh
dalam kedekatannya dengan
orang tua. Ketika duduk
bersama atau duduk di
pangkuan orang tua, anak
merasakan adanya kasih
sayang dan kelembutan.
Suasana yang menyenangkan
dan didukung oleh buku cerita
yang penuh gambar-gambar
indah akan membuat anak
menjadi tertarik dan senang
menikmati cerita dari buku.
Melalui proses imitasi, anak
akan suka menirukan aktivitas
membacakan cerita yang
dilakukan oleh orang tuanya.
Peniruan ini akan semakin
diulang bila anak juga sering
melihat orang tua melakukan
aktivitas membaca. Anak akan
meniru gaya dan tingkah laku
orang tua dalam membaca.
Kemudian setelah anak
mampu membaca sendiri,
maka ia akan senang sekali
mempraktekkan kemampuan
membacanya dengan
membaca sendiri buku-buku
yang tersedia di rumah.
Kemauan untuk membaca
buku atas inisiatif diri sendiri
ini adalah awal tumbuhnya
minat membaca anak.
Perkembangan selanjutnya
dari minat membaca ini
dipengaruhi oleh beberapa
faktor.
Ada dua kelompok besar
faktor yang mempengaruhi
minat membaca anak, yaitu
faktor personal dan faktor
institusional (Purves dan
Beach, dalam Harris dan
Sipay, 1980). Faktor personal
adalah faktor-faktor yang ada
dalam diri anak, yaitu meliputi
usia, jenis kelamin, inteligensi,
kemampuan membaca, sikap
dan kebutuhan psikologis.
Sedangkan faktor institusional
adalah faktor-faktor di luar
diri anak, yaitu meliputi
ketersediaan jumlah buku-
buku bacaan dan jenis-jenis
bukunya, status sosial
ekonomi orang tua dan latar
belakang etnis, kemudian
pengaruh orang tua, guru dan
teman sebaya anak.
Ada perbedaan minat anak
terhadap buku bila ditinjau
dari usia kronologis anak.
Ediasari (Ayahbunda, 1983)
berpendapat bahwa pada usia
antara dua sampai dengan
enam tahun anak-anak
menyukai buku bacaan yang
didominasi oleh gambar-
gambar yang nyata. Pada usia
tujuh tahun anak menyukai
buku yang didominasi oleh
gambar-gambar dengan
bentuk tulisan besar-besar
dan kata-kata yang sederhana
dan mudah dibaca. Biasanya
pada usia ini anak sudah
memiliki kemampuan
membaca permulaan dan
mereka mulai aktif untuk
membaca kata. Pada usia 8 s/
d 9 tahun, anak-anak
menyukai buku bacaan
dengan komposisi ganbar dan
tulisan yang seimbang.
Mereka biasanya sudah lancar
membaca, walaupun
pemahaman mereka masih
terbatas pada kalimat singkat
dan sederhana bentuknya.
Kemudian pada usia 10 s/d 12
tahun anak lebih menyukai
buku dengan komposisi tulisan
lebih banyak daripada
gambar. Pada usia ini
kemampuan berpikir abstrak
dalam diri anak mulai
berkembang sehingga mereka
dapat menemukan intisari dari
buku bacaan dan mampu
menceritakan isinya kepada
orang lain.
Munandar (1986) menemukan
ada perbedaan minat anak
terhadap isi cerita ditinjau dari
perkembangan usia kronologis
anak. Pada usia 3 s/d 8 tahun
anak menyukai buku cerita
yang berisi mengenai binatang
dan orang–orang di sekitar
anak. Pada masa ini anak
bersikap egosentrik sehingga
mereka menyukai isi cerita
yang berpusat pada kehidupan
di seputar dirinya. Mereka
juga menyukai cerita khayal
dan dongeng. Pada usia 8 – 12
tahun anak menyukai isi cerita
yang lebih realistik.
Munandar juga menemukan
ada perbedaan umum antara
minat membaca anak laki-laki
dan perempuan dalam sifat
dan tema cerita, walaupun
perbedaan ini tidak bersifat
pilah sama sekali; artinya
anak-anak perempuan juga
menikmati bacaan anak-anak
laki-laki dan sebaliknya. Pada
umumnya anak-anak
perempuan menyukai buku
cerita dengan tema kehidupan
keluarga dan sekolah. Anak-
anak laki-laki lebih menyukai
buku cerita mengenai
pertualangan, kisah
perjalanan yang seram dan
penuh ketegangan, cerita
kepahlawanan dan cerita
humor.
Faktor institusional memiliki
pengaruh yang kuat terhadap
perkembangan minat
membaca anak. Keluarga
dengan status sosial ekonomi
tinggi, mampu menggunakan
tingkat pendidikannya yang
tinggi untuk memperoleh
informasi mengenai buku-buku
yang perlu untuk
perkembangan kognitif dan
afektif anak. Didukung oleh
penghasilan mereka yang
cukup tinggi, maka orang tua
dapat menyediakan buku-buku
bacaan untuk anak dengan
jenis yang beragam. Slavin
(1998) menemukan ada
perbedaan aktivitas orang tua
dalam membimbing anak
antara keluarga dengan status
sosial ekonomi tinggi dengan
status sosial ekonomi rendah.
Orang tua dengan status
sosial ekonomi tinggi memiliki
harapan tinggi terhadap
keberhasilan anak di sekolah
dan mereka sering memberi
penghargaan terhadap
pengembangan intelektual
anak. Mereka juga mampu
menjadi model yang bagus
dalam berbicara dan aktivitas
membaca. Orang tua sering
membaca bersama anak,
memberika pujian kepada
anak saat anak membaca
buku atas inisiatif sendiri,
membawa anak ke toko buku
dan mengunjungi
perpustakaan dan mereka
menjadi model bagi anak
dengan lebih sering
memanfaatkan waktu luang
untuk membaca.
Orang tua dengan status
sosial ekonomi rendah sering
memberi contoh negatif
dalam berbicara, terutama
saat mereka bertengkar
karena keterbatasan
keuangan keluarga. Mereka
juga jarang memuji anak
ketika anak membaca, bahkan
orang tua memiliki
pengharapan rendah terhadap
keberhasilan sekolah anak
sehingga mereka tidak
mau terlibat untuk membantu
pekerjaan rumah anak atau
tugas sekolah yang lain.
Akibat selanjutnya anak
menjadi tidak berprestasi di
sekolah dan hal ini menambah
tekanan keluarga ketika
orang tua dipanggil ke
sekolah untuk
mempertanggungjawabkan
kegagalan pendidikan anak.
Nampak bahwa keluarga
dengan status sosial ekonomi
rendah mengalami stres yang
tinggi.
B. Pendekatan Stres
Lingkungan
Pendekatan stres lingkungan
sering digunakan secara luas
dalam psikologi lingkungan.
Stresor seperti kebisingan,
kepadatan penduduk dan
kesesakan, tekanan kerja,
bencana alam, polusi dll
adalah lingkungan aversif
yang mengancam
kesejahteraan manusia.
Sebagai variabel mediator,
stres didefiniskan sebagai
reaksi terhadap lingkungan
aversif (Bell dkk, 1996). Reaksi
tersebut meliputi komponen
emosi, perilaku dan fisiologis.
Komponen fisiologis sering
dinamakan stres sistemik,
sedangkan komponen emosi
dan tingkah laku dinamakan
stres psikologis. Karena stres
sistemik dan stres psikologis
adalah saling berkaitan dan
tidak terjadi sendiri-sendiri,
maka psikolog lingkungan
biasanya memadukan
keduanya dalam satu teori
yang dinamakan model stres
lingkungan. Dalam model ini,
stresor menunjuk kepada
komponen lingkungan
sedangkan response stres
menunjukkan reaksi yang
disebabkan oleh komponen
lingkungan.
Ada tiga karakteristik utama
stresor, yaitu peristiwa
kataklismik (cataclysmic
events), stres personal
(personal stressors) dan
stresor latar belakang
(background stressors).
Kejadian atau peristiwa
kataklismik memiliki beberapa
karakteistik dasar, yaitu
biasanya terjadi secara tiba-
tiba dengan sedikit tanda-
tanda atau bahkan tidak ada
tanda-tanda akan terjadi suatu
peristiwa. Pengaruhnya sangat
kuat sehingga muncul
response universal dan
melibatkan sejumlah besar
orang. Kekuatan kataklismik
yang mendadak menimbulkan
rasa bingung pada korban,
biasanya membutuhkan usaha
sangat besar untuk
melakukan koping secara
efektif. Koping stres yang
efektif berupa afiliasi satu
sama lain dengan cara
berbagi pendapat dan rasa.
Bila koping tidak berhasil
maka akan muncul
ketidakberdayaan dan sikap
pasif. Contoh peristiwa
kataklismik adalah bencana
alam, perang, kebocoran
nuklir, kebakaran hebat dll.
Stresor personal meliputi
kesakitan, kematian suami
atau istri atau anak yang
disayangi, pemutusan
hubungan kerja dll yang
biasanya dialami oleh
seseorang dan membawa
pengaruh yang buruk. Strategi
koping yang efektif untuk
stresor personal biasanya
adalah dukungan sosial.
Background stressors
dibedakan menjadi dua, yaitu
daily hassles yang sering
dinamakan juga stresor mikro,
bersifat stabil dan
intensitasnya rendah; misalnya
adalah kehilangan barang,
terlambat kerja, tekanan
karena pekerjaan rumah
tangga dan hal-hal lain yang
bersifat rutin; dan ambient
stressors atau stresor kronis
yang bersifat global, misalnya
polusi air dan udara,
kebisingan, kepadatan dan
kesesakan tempat hunian,
kemacetan lalulintas dll yang
bersifat masalah masyarakat
pada umumnya.
Smet (1994) menemukan ada
beberapa stresor dalam
keluarga, yaitu perselisihan
dalam masalah keuangan,
perasaan saling acuh tak
acuh, perbedaan yang tajam
dalam menentukan tujuan,
kebisingan karena suara
radio, televisi atau tape yang
dinyalakan dengan suara
keras sekali, keluarga yang
tinggal di lingkungan yang
terlalu sesak, dan kehadiran
adik baru. Stresor lain dalam
keluarga adalah kehilangan
anak yang disayangi akibat
bencana alam, kesakitan atau
kecelakaan, kematian suami
atau istri.
Burr dan Klein (1994)
menemukan ada enam stresor
dalam stres keluarga, yaitu
perekonomian keluarga
menjadi bangkrut, anak
mengalami cacat fisik atau
mental sehingga harus di
rawat di rumah sakit, remaja
yang sulit dididik sehingga
harus dibawa ke psikiater,
anak yang mengalami
penyempitan otot,
ketidaksuburan pasangan
suami dan istri, perubahan
peran dalam rumah tangga.
Karakteristik response stres
meliputi response fisiologis,
strategi koping dan adaptasi.
Response fisiologis bersifat
otomatis dan menurut Selye
(dalam Bell dkk, 1996) ada
tiga tahap sindrome adaptasi
umum yaitu tahap reaksi
alarm, tahap resistensi dan
tahap kelelahan. Reaksi alarm
terhadap stresor bersifat
proses otomatis, misal detak
jantung meningkat,
pengeluaran adrenalin,
keringat dingin dll. Tahap
resistensi juga dimulai dengan
proses otomatis untuk
menghadapi stresor, misal
pada udara yang panas,
secara otomatis tubuh
mengeluarkan keringat. Bila
mekanisme keseimbangan
tidak tercapai, maka akan
terjadi tahap ketiga, yaitu
tahap kelelahan yang
mengakibatkan beberapa
penyakit seperti tukak
lambung, pembengkakan
adrenal dan gagal ginjal.
Strategi koping adalah
perpaduan antara fungsi dari
faktor individu dan situasional,
meliputi melarikan diri dari
stresor, serangan fisik atau
verbal, dan kompromi. Pada
dasarnya ada dua kategori
strategi koping, yaitu aksi
langsung atau berfokuskan
pada masalah, misal mencari
informasi, melarikan diri /
menghindari stresor, mencoba
memindahkan atau
menghentikan stresor; dan
paliatif atau berfokuskan
emosi, misal menggunakan
mekanisme pertahanan diri
seperti penyangkalan,
rasionalisasi, reaksi formasi
dll, penggunaan obat-obatan,
relaksasi dll. Adaptasi terjadi
ketika stimulus aversif muncul
berulang kali dan response
stres terhadap stresor menjadi
makin lemah
dan bertambah lemah. Proses
berikutnya setelah adaptasi
adalah terjadi aftereffects,
yaitu akibat jangka panjang
setelah stresor berhenti.
C. Pengaruh Keterlibatan
Orang Tua terhadap Minat
Membaca Anak Ditinjau dari
Pendekatan Stres Lingkungan
Dalam keluarga yang miskin,
penghasilan suami dan atau
istri yang rendah sering
menjadi pemicu pertengkaran
dalam keluarga. Akibat lebih
lanjut dari pertengkaran
adalah suami dan istri menjadi
saling tidak peduli. Orang tua
dengan tingkat pendidikan
yang rendah ternyata sulit
untuk mengendalikan
kelahiran anak, sehingga
jumlah kelahiran anak
menjadi bertambah (Semaoen,
Hani, Kiptiyah, 2000).
Kehadiran anak atau adik
baru bagi anak yang lebih tua
menimbulkan stres bagi ibu
dan ayah. Ibu akan merasakan
stres selama kehamilan,
apalagi bila anak yang
dikandung adalah anak yang
ketiga atau keempat dimana
muncul rasa bersalah tidak
mentaati program Keluarga
Berencana, dan pasca
melahirkan. Stres pada ayah
berkaitan dengan rasa kuatir
akan berubahnya interaksi
antara suami dan istri dan
timbul kekuatiran akan
tambahan beaya hidup.
Biasanya keluarga miskin ini
tinggal di kantong-kantong
kemiskinan dengan luas
rumah yang sangat terbatas,
kumuh, panas, bising dan
sesak. Tinggal di lingkungan
yang terlalu sesak dapat
menimbulkan stres dan akibat
selanjutnya orang menjadi
kurang suka menolong orang
lain (Bell dkk, 1996).
Keluarga yang tinggal di
daerah slums, biasanya tetap
memiliki gambaran kualitas
rumah yang ideal. Mereka
biasanya masih mendambakan
rumah berkualitas dengan ciri-
ciri adanya kontinuitas, yaitu
rasa memiliki rumah secara
permanen; ada privasi, ada
tempat untuk
mengekspresikan diri,
identitas personal yaitu
berkaitan dengan simbol diri
mereka dan keinginan untuk
menunjukkan rumah kepada
orang lain; relasi sosial,
kehangatan dan tempat untuk
berteduh dan berlindung
(Smith, 1994). Ketiadaan ruang
untuk ekspresi diri, yaitu
untuk mengembangkan
intelektual dan kepribadian
anak; maupun kehangatan
yang ditandai dengan adanya
suasana persahabatan dan
dukungan untuk berprestasi,
menghalangi orang tua untuk
menolong anak dalam
aktivitas membaca maupun
aktivitas belajar yang lain.
Perselisihan dalam keluarga,
perasaan saling tidak peduli,
kesesakan karena
keterbatasan luas rumah dan
terlalu banyak anak,
kebisingan, kurang ruang
untuk ekspresi diri dan
kehangatan merupakan
stresor yang kuat dalam
keluarga miskin. Stresor
ini masih ditambah dengan
adanya interaksi orang tua
dengan fihak lain di luar
lingkungan rumah, yaitu
tekanan kerja di tempat kerja.
Ada konflik antara tuntutan
kerja dengan tuntutan
keluarga. Keluarga menuntut
penghasilan yang lebih tinggi
untuk menutup beaya
kehidupan sehari-hari,
sedangkan di tempat kerja
orang tua juga dituntut untuk
lebih profesional dalam
bekerja namun tidak mampu
karena keterbatasan tingkat
pendidikan dan kekurangan
ketrampilan kerja.
Stresor yang lain adalah
pengalaman stres anak-anak
di sekolah. Orang tua jarang
terlibat untuk membantu anak
dalam mengerjakan pekerjaan
rumah maupun aktivitas
belajar anak yang lain
menyebabkan anak tidak
mampu mengerjakan
pekerjaan rumah.
Ketidakbiasaan membuat
pekerjaan rumah menjadikan
anak tidak terlatih sehingga
anak sering gagal dan
ditertawakan bila harus
mengerjakan tugas di depan
kelas. Dua hal ini menjadikan
anak juga mengalami stres.
Orang tua juga akan
bertambah stres ketika
dipanggil oleh pihak sekolah
guna
mempertanggungjawabkan
kegagalan pendidikan anak.
Stres dalam keluarga
berinteraksi dengan stres dari
luar lingkungan rumah
menimbulkan stres tingkat
tinggi dalam diri orang tua.
Hal ini menyita waktu orang
tua dan membuang energi dan
perhatian mereka sehingga
secara psikologis mereka
tidak mampu untuk terlibat
menolong anak dalam
aktivitas membaca.
Ketidakterlibatan orang tua
dalam aktivitas membaca
mengakibatkan minat
membaca anak tetap rendah
(Grolnick dkk, 1997).
Penelitian Grolnick dkk ini
berbeda dengan hasil
penemuan Morrow dan Young
(1997) yang menemukan
bahwa kegiatan membaca
bersama antara anak dan
orang tuanya berpengaruh
terhadap sikap dan minat
membaca anak. Melalui
program membaca bersama
antara orang tua dan anak,
anak-anak menjadi suka
mengisi waktu luangnya
dengan aktivitas membaca,
mereka suka membaca
bersama orang dewasa yang
lain, suka membaca majalah
dan buku-buku yang ada di
rumah dan di perpustakaan
sekolah. Kondisi sosial
ekonomi keluarga dalam
penelitian Morrow dan Young
juga tergolong rendah, namun
mereka merasa mendapat
dukungan sosial melalui
program membaca keluarga.
Buku-buku dan perlengkapan
membaca merupakan
dukungan instrumental untuk
mendidik anak, program
pelatihan untuk orang tua
agar terlibat secara efektif
dalam program membaca
keluarga merupakan
dukungan informatif yang
sangat berguna bagi orang tua
untuk memberikan dukungan
penghargaan dan emosi
kepada anak saat mereka
membaca bersama.
BAB III
PENUTUP
Pendekatan stres lingkungan
dapat digunakan untuk
menolong memprediksikan
bermacam-macam akibat
yang ditimbulkan oleh
kerusakan lingkungan fisik,
sosial maupun psikologis.
Namun perlu dicermati bahwa
pendekatan stres lingkungan
secara tunggal sering
menimbulkan kekaburan
dalam mengidentifikasi
stresor. Model stres
lingkungan juga sering sulit
secara pasti memprediksikan
strategi koping yang akan
digunakan oleh keluarga
untuk menghadapi stresor,
sebab antara satu keluarga
dengan keluarga lain mungkin
berbeda walaupun tinggal
dalam lingkungan dan kondisi
sosial ekonomi sama.
Ketergantungan pada konteks
keluarga dan adanya
perbedaan individual masih
merupakan suatu tantangan
psikologi lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Ayahbunda, Jakarta,
September No. 18, 1983
Bell, P.A., Greene, T.C.,
Fisher, J.D., and Baum, A.
1996. Enviromental
Psychology. Fourth Edition.
Orlando : Harcourt Brace
College Publishers.
Burr, W.C., and Klein, S.R.
1994. Reexamining Family
Stress : New Theory and
Research. California : Sage
Publishers, Inc.
Grolnick, W.S., Benjet, C.,
Kurowski, C.O., and
Apostoleris, N.H. 1997.
Predictors of Parent
Involvement in Children’s
Schooling. Journal of
Educational Psychology. 89 ( 3)
, 538 – 548.
Harris, A., and Sipay, E. 1980.
How To Increase Reading
Ability.. New York : Longman,
Inc.
Juel, C. 1988. Learning to Read
and Write : A Longitudinal
Study of 54 Children from First
through Fourth Grade. Journal
of Educational Psychology, 80
(4), 437 – 447.
Kompas, Jakarta, 22 Januari
1995
Lilawati, 1988. Hubungan
Antara Tingkat Pendidikan
Orang Tua, Stimulasi
Membaca dari Orang Tua dan
Inteligensi dengan Minat
Membaca Pada Anak Kelas V
Sekolah Dasar. Skripsi.
Yogyakarta : Fakultas
Psikologi Universitas Gadjah
Mada.
Meichati, S. 1978. Motivasi
Pembaca. Yogyakarta :
Universitas Gadjah Mada.
Morrow, L..M., and Young, J.
1997. A Family Literacy
Program Connecting School
and home : Effects on
Attitude, Motivation and
Literacy Achievement. Journal
of Educational Psychology, 89
( 4), 736 - 742.
11
Mulyani, A.N. 1981.
Pembinaan Minat Baca dan
Promosi Perpustakaan. Berita
Perpustakaan Sekolah, I, 24 –
29.
Munandar, S.C.U. 1986.
Memupuk Minat Untuk
Membaca. Jakarta : IKAPI.
Pikiran Rakyat, Bandung, 15
Juli 2000
Semaoen, I., Hani, E.S. dan
Kiptiyah, S.M. 2000. Strategi
Orang tua Di Perdesaan
Miskin dalam Upaya
Peningkatan Kualitas Anak.
Jurnal Ilmu-ilmu Sosial, 12 ( 1 )
, 10 – 17.
Sinambela, N.L. 1993.
Hubungan Minat Membaca
dengan Kreativitas Pada
Siswa-siswi Kelas II SMP
Negeri 5 Yogyakarta. Skripsi.
Yogyakarta : Fakultas
Psikologi Universitas Gadjah
Mada.
Slavin, R. 1998. Educational
Psychology : Theory and
Practice. Fourth Edition.
Boston : Allyn and Bacon.
Smeth, B. 1994. Psikologi
Kesehatan. Jakarta : PT :
Gramedia
Smith, S.G. 1994. The Essential
Qualities of Home. Journal of
Enviromental Psychology, 14,
31 – 46.
Suara Merdeka, Semarang, 15
September 1995.
Wigfield, A., and Guthrie, J.T.
1997. Relations of Children’s
Motivation for Reading to the
Amount and Breadth of Their
Reading. Journal of
Educational Psychology, 89
( 3 ), 420 – 432.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar