Sabtu, 22 Agustus 2009

MAKALAH TASAWUFTENTANG TASAWUF AKHLAKI

TASAWUF AKHLAKI
Menurut Amin Syukur, ada
aliran dalam tasawuf pertama
aliran tasawuf sunni yaitu
bentuk tasawuf yang
memagari dirinya dengan Al-
Qur'an dan al hadits secara
ketat, serta mengaitkan ahwal
(keadaan) dan maqat 9tingkat
rohaniah) mereka pada dua
sumber tersebut. Kedua aliran
tasawuf falsafi, yaitu tasawuf
yang bercampur dengan
ajaran filsafat kompromi,
dalam pemakaian term-term
filsafat yang maknanya
disesuaikan dengan tasawuf.
Oleh karena itu, tasawuf yang
berbau filsafat ini tidak
sepenuhnya dikatakan tasawuf
dan juga tidak dapat
sepenuhnya dikatakan
tasawuf.
A. HASAN AL-BASHRI
1. Riwayat Hidup
Nama lengkap Hasan Al-
Bashri adalah Abu Sa’id Al
Hasan bin Yasar. Ia seorang
yang masyur dikalangan
tabi’in. ia lahir di Madinah
pada tahun 21 H/632 M dan
wafat pada hari Kamis bulan
Rajab tanggal 10 tahun 110
H/728 M.
Ajaran-ajarannya tentang
kerohanian didasarkan pada
Sunnah Nabi. Para sahabat
Nabi pun mengakui
kebesaran-kebesaran Hasan
Al-Bashri
Karir pendidikan Hasan Al-
Bashri dimulai di Hijaz,
kemudian ia pindah ke
Bashrah dan memperoleh
puncak keilmuan di sana.
2. Ajaran-Ajaran tasawufnya
Ajaran-ajaran Hasan Al-Bashri
adalah anjuran kepada setiap
orang untuk senantiasa
bersedih hati dan takut kalau
tidak mampu melaksanakan
seluruh perintah Allah dan
menjauhi larangan-larangan-
Nya
Lebih jauh lagi, Hamka
mengemukakan bahwa ajaran
tasawuf Hasan yaitu:
a. “Perasaan takut yang
menyebabkan hatimu tentram
lebih baik dari pada rasa
tentram tapi yang
menimbulkan rasa takut.”
b. “Dunia adalah negeri
tempat beramal”
c. “Tafakur membawa kita
pada kebaikan dan selalu
berusaha untuk
mengerjakannya. Menyesal
atas perbuatan jahat
menyebabkan kita bermaksud
untuk tidak mengulanginya
lagi.”
d. “Dunia ini adalah seorang
janda tua yang telah bungkuk
dan beberapa kali
ditinggalkan mati suaminya”.
e. “Orang yang beriman akan
senantiasa berduka cita pada
pagi dan sore hari karena
berada di antara dua
perasaan takut”
f. “Hendaklah setiap orang
sadar akan kematian yang
senantiasa mengancamnya,
dan juga takut akan kiamat
yang hendak menagih
janjinya”
g. “Banyak duka cita di dunia
memperteguh semangat amal
shaleh”
Sikap tasawuf Hasan Al-Bashri
senada dengan sabda Nabi
yang berbunyi:
“Orang yang selalu mengingat
dosa-dosa yang pernah
dilakukannya adalah laksana
yang orang duduk di bawah
sebuah gunung besar yang
senantiasa merasa takut
gunung itu akan menimpa
dirinya”.
B. AL-MUHASIBI: PANDANGAN
TASAWUFNYA
Al-Harits bin Asad Al-Muhasibi
(W. 243 H) menempuh jalan
tasawuf karena hendak keluar
dari keraguan yang
dihadapinya. Tatkala Al-
Muhasibi mengamati
madzhab-madzhab yang dianut
umat Islam, ada sekelompok
orang yang tahu benar
tentang keakhiratan. Sebagian
besar dari mereka adalah
orang-orang yang mencari
ilmu karena kesombongan dan
memotivasi keduniaan.
1. Pandangan Al-Muhasibi
tentang Ma’rifat
Al-Muhasibi berbicara pula
tentang ma’rifat. Ia pun
menulis sebuah buku
tentangnya, namun
dikabarkan bahwa ia tidak
diketahui alasan-alasannya
kemudian membakarnya. Ia
sangat berhati-hati dalam
menjelaskan batasan-batasan
agama, dan tidak mendalami
pengertian batin agama yang
dapat mengaburkan
pengertian lahirnya dan
menyebabkan keraguan.
Dalam konteks ini pula ia
menuturkan sebuah hadits
Nabi yang berbunyi:
“Pikirkanlah makhluk-
makhluk Allah dan jangan
mencoba memikirkan dzat
Allah sebab kalian akan
tersesat karenanya.” Al-
Muhasibi mengatakan bahwa
ma’rifat harus ditempuh
melalui jalan tasawuf yang
mendasarkan pada kitab dan
sunnah.12) Al-Muhasibi
menjelaskan tahapan-tahapan
ma’rifat sebagai berikut:
a. Taat, awal dari kecintaan
kepada Allah adalah taat,
yaitu wujud konkret ketaatan
hamba kepada Allah
b. Aktivitas anggota tubuh
yang telah disinari oleh
cahaya yang memenuhi hati
merupakan tahap ma’rifat
selanjutnya,
c. Allah menyingkirkan
khazanah-khazanah dan
keajaiban kepada setiap orang
yang telah menempuh kedua
tahap di atas
d. Sufi mengatakan dengan
fana’ yang menyababkan
baqa’
2. Pandangan Al-Muhasibi
tentang khauf dan Raja’
Dalam pandangan Al-
Muhasibi, khauf (rasa takut)
dan raja’ (pengharapan)
menempati posisi penting
dalam perjalanan seseorang
membersihkan jiwa. Pangkal
wara’ menurutnya, ada
ketakwaan; pangkal
ketakwaan adalah instrosfeksi
diri (musabat Al-nafs);
pangkal introspeksi diri adalah
khauf dan raja’; pangkal khauf
dan raja’ adalah pengetahuan
tentang janji dan ancaman;
pangkal pengetahuan tentang
keduanya adalah perenungan.
15)
Khauf dan raja’; menurut Al-
Muhasibi, dapat dilakukan
dengan sempurna bila
berpegang teguh pada Al-
Qur'an dan As sunnah. Dalam
hal ini, ia mengaitkan kedua
sifat itu dengan ibadah haji
dan janji serta ancaman Allah.
Al-Muhasibi mengatakan
bahwa Al-Qur'an jelas
berbicara tentang pembalasan
(pahala) dan siksaan. Ajakan-
ajakan Al-Qur'an pun
sesungguhnya dibangun atas
dasar targhib (sugesti) dan
tarhib (ancaman). Al-Qur'an
jelas pula berbicara tentang
surga dan neraka. Ia
kemudian mengutip ayat-ayat
berikut:
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang
yang bertaqwa berada di
dalam taman-taman (surga)
dan dimata air-mata air,
sambil mengambil apa yang
diberikan kepada mereka oleh
Tuhan mereka. Sesungguhnya
mereka sebelum itu di dunia
adalah orang-orang yang
berbuat baik; mereka sedikit
sekali tidur di waktu malam;
dan di akhir-akhir malam
mereka memohon ampun
(kepada Allah)
(QS Adz-Dzariyyat, ayat 15-18).
Raja’ dalam pandangan Al-
Muhasibi, seharusnya
melahirkan alam saleh.
Seseorang yang telah
melakukan amal saleh,
berhak mengharap pahala
dari Allah.
C. AL-QUSYAIRI
1. Riwayat Hidup Al-Qusyairi
Nama lengkap Al-Qusyairi
adalah “Abdul Karim bin
Hawazin”, lahir tahun 376 di
Istiwa. Al-Qusyairi merupakan
tokoh sufi utama dari abad ke
lima hijriyah. Di kawasan
Nishafur di sinilah ia bertemu
dengan gurunya Abu Ali Ad-
Daqqaq, seorang sufi
terkenal. Kemudian Al-
Qusyairi mempelajari ilmu
fiqih pada seorang faqih, Abu
bakr Muhammad bin Abu bakr
ath-thusi (wafat tahun 405)
dan beliau mempelajari ilmu
kalam serta ushul fiqih pada
Abu Bakr bin farauk (wafat
tahun 406 H). Dan beliau pun
menjadi murid Abu ishaq Al-
isfarayini (wafat tahun 418 H)
dari situlah Al-Qusyairi
menguasai doktrin Ahlussunah
wal jamaah yang
dikembangkan Al-Asari dan
muridnya. Al-Qusyairi
pembela paling tangguh dari
aliran tersebut dalam
menentang doktrin aliran
mu’tazilah, karamiyah,
mujassamah, dan syi’ah.
Karena tindakannya itu ia
mendapat serangan keras dan
di penjarakan sebulan lebih
atas perintah Tughrul Bek
yang terhasut oleh seorang
menterinya yang menganut
aliran mu’tazilah rafidhah.
Bencana yang menimpa
dirinya itu bermula tahun 445
H diuraikan dalam karyanya
“Syikayah Ahl As –sunnah”.
Al-Qusyairi wafat tahun 465 H
2. Ajaran-Ajaran tasawuf Al-
Qusyairi
Akan tampak jelas bagaimana
Al-Qusyairi cenderung
mengembalikan tasawuf ke
atas landasan doktrin akhlu
sunnah sebagai
pernyataannya:
“Ketahuilah! Para tokoh aliran
ini membina prinsip-prinsip
tasawuf atas landasan tauhid
yang benar. Sehingga doktrin
mereka terpelihara dari
penyimpangan, selain itu
mereka lebih dekat dengan
tauhid kaum salaf maupun
ahlu sunah yang tak
tertandingi dan tak mengenal
macet, merekapun tahu hak
yang lama dan bisa
mewujudkan sifat sesuatu
yang diadakan dan
ketidakadaannya. Al-Junaidi
mengatakan bahwa tauhid
pemisal hal yang lama dengan
hal yang baru. Landasan
doktrin merekapun didasarkan
pada dalil dan bukti yang kuat
serta gambling. Abu
Muhammad Al-Jariri
mengatakan bahwa barang
siapa tidak mendasarkan ilmu
tauhid pada salah satu
pengokohnya, niscaya kakinya
tergelincir ke dalam jurang
kehancuran”.
Bahkan dengan konotasi lain
Al-Qusyairi secara terang-
terangan mengkritik mereka
“Mereka mengatakan bahwa
mereka telah bebas dari
perbudakan berbagai
belenggu dan berhasil
mencapai realitas-realitas
rasa penyatuan dengan Tuhan
(wushul) lebih jauh lagi
mereka tegak bersama yang
Maha Besar, yang hukum-
hukumnya berlaku atas diri
sendiri, sedang mereka dalam
keadaan fana. Allah pun
menurut mereka tidak
mencela dan melarang apa
yang mereka nyatakan
ataupun yang mereka
lakukan. Dan kepadaku
mereka disingkapkan rahasia
ke-Esaan dan setelah fana
merekapun tetap memperoleh
cahaya Ketuhanan, tempat
bergantung segala sesuatu”
Selain itu Al-Qusyairi
menekankan bahwa
kesehatan bathin dengan
berpegang teguh pada Al-
Qur'an dan As sunnah sebagai
mana perkataannya:
“Duhai saudaraku! Janganlah
kamu terpesona oleh pakaian
lahiriah maupun sebutan yang
kau lihat (pada sufi
sejamannya) sebab ketika
reutas itu tersingkapkan,
niscaya tampak keburukan
para sufi yang mengada-ada
dalam berpakaian….. Setiap
tasawuf yang tidak dibarengi
dengan kebersihan maupun
sikap menjauhkan diri dari
maksiat adalah tasawuf palsu
serta memberatkan diri dan
setiap bathin yang
bertentangan dengan lahir
adalah keliru dan bukannya
yang bathin,…… dan setiap
tauhid yang dibenarkan Al-
Qur'an maupun as-sunnah
adalah pengingkaran terhadap
Tuhan dan bukan tauhid; dan
setiap pengenalan terhadap
Allah yang tidak dibarengi
kerendahan maupun
ketulusan jiwa adalah palsu
dan bukan pengenalan
terhadap Allah.”
Dalam hal yang berbeda, Al-
Qusyairi mengemukakan suatu
penyimpangan lain dari para
sufi abad ke lima hijriyah
dengan ungkapan yang pedas.
“Kebanyakan para sufi yang
menempuh jalan kebenaran
dari kelompok tersebut telah
tiada. Tiada bekas mereka
yang tinggal di kelompok
tersebut kecuali bekas-bekas
mereka kemah dan hanya
serupa kemah mereka, kaum
wanitanya itu, kulihat bukan
mereka.
“Zaman telah berakhir bagi
jalan ini, bahkan jalan ini telah
menyimpang dari hakikat
realitas. Telah lewat para
guru yang menjadi panutan
mereka, tidak banyak lagi
generasi muda yang mau
mengikuti perjalanan dan
kehidupan mereka. Sirnalah
kini kerendahatian dan
punahlah kesederhanaan
hidup. Ketamakan semakin
menggelora dan ikatannya
semakin membelit. Hilanglah
sudah kehormatan agama dari
kalbu. Betapa sedikit orang
yang berpegang teguh pada
agama. Banyak orang yang
menolak membedakan
masalah halal haram. Mereka
cenderung meninggalkan
sikap menghormati orang lain
dan membuang jauh rasa
malu. Bahkan mereka
menganggap remeh
pelaksanaan ibadah,
melecehkan puasa dan sholat,
dan terbuai dalam medan
kemabukan dan jatuh dalam
pelukan nafsu syahwat dan
tidak peduli melakukan hal-
hal yang dilarang.”
Dari uraian di atas tampak
jelas bahwa pengembalian
arah tasawuf menurut Al-
Qusyairi dapat dilakukan
dengan merujuk pada doktrin
ahlu sunnah wal jama’ah yaitu
dengan mengikuti para sufi
sunni abad ke 3 dan ke 4
hijriyah.
D. Al-Ghazali
1. Biografi Singkat Al-Ghazali
Nama lengkap adalah Abu
Hamid Muhammad bin
Muhammad bin Muhammad
bin ta’us Ath-thusi Asy-Syafi’i
Al-Ghazali. Ia dipanggil Al-
Ghazali karena ia lahir di
Ghazalah suatu kota di
Kurasan, Iran, tahun 450
H/1058 M, ayahnya seorang
pemintal kain wol miskin yang
taat, pada saat ayahnya
menjelang wafat Al Ghazali
dan adiknya yang bernama
Ahmad dititipkan kepada
seorang sufi. Setelah lama
tinggal bersama sufi itu, Al-
Ghazali dan adiknya
disarankan untuk belajar pada
pengelola sebuah madrasah,
sekaligus untuk menyambung
hidup mereka, di sana ia
mempelajari ilmu fiqih kepada
Ahmad bin Muhammad Ar-
Rizkani, kemudian ia
memasuki sekolah tinggi
Nizhamiyah dan berguru
kepada Imam Haramain (Al-
Juwaini) hingga menguasi ilmu
manthiq, ilmu kalam, fiqh,
ushul fiqh, filsafat, tasawuf
dan retorika perdebatan, tak
hanya itu ia pun mengisi
waktu belajarnya dengan
belajar teori-teori tasawuf
kepada Yusuf An-Nasaj Imam
Haramani menjuluki Al-
Ghazali dengan sebutan Bahr
Mu’riq (lautan yang
menghanyutkan)
kemahirannya dalam
menguasi ilmu didapatnya,
termasuk perbedaan pendapat
dari para ahli ilmu serta
mampu memberikan
sanggahan-sanggahan kepada
para penentangnya.
Setelah Imam Haramani Wafat
(478 H/1068 M) Al-Ghazali
pergi ke Baghdad, yaitu
tempat berkuasanya Perdana
Menteri Nizham Al-Muluk
(wafat 485 H/1091 M). Pada
tahun 483 H/1090 M ia
diangkat oleh Nizam Al-Muluk
menjadi guru besar di
Universitas. Selama di
Baghdad Al-Ghazali menderita
keguncangan batin sebagai
akibat sikap keragu-raguan
akan pencarian kebenaran
yang hakiki, kemudian ia pun
memutuskan untuk
melepaskan jabatannya dan
meninggalkan Baghdad
menuju Syiria, Palestina dan
kemudian ke Mekah untuk
mencari kebenaran yang
hakiki yang selama ini
dicarinya, setelah ia
memperolehnya maka tidak
lama kemudian ia
menghembuskan nafas
terakhirnya di Thus pada
tanggal 19 Desember 1111
M/14 Jumadil Akhir tahun
505H.
Al-Ghazali banyak
meninggalkan karya tulis
menurut Sulaiman Dunya,
karangan Al-Ghazali mencapai
300 buah, ia mulai mengarang
pada usia 25 tahun, sewaktu
masih di Nasisabur dan ia
mempergunakan waktu 30
tahun untuk mengarang yang
meliputi beberapa bidang ilmu
pengetahuan antara lain,
filsafat, ilmu kalam, fiqh,
ushul fiqh, tafsir, tasawuf dan
akhlaq.
2. Ajaran Tasawuf Al-Ghazali
Di dalam tasawufnya, Al-
Ghazali memilih tasawuf sunni
berdasarkan Al-Qur'an dan
sunnah Nabi ditambah dengan
doktrin Ahlu Al Sunnah wa Al-
jama’ah. Corak tasawufnya
adalah psikomoral yang
mengutamakan pendidikan
moral yang dapat di lihat
dalam karya-karyanya seperti
Ihya’ullum, Al-Din, Minhaj
Al-‘Abidin, Mizan Al-Amal,
Bidayah Al Hidayah, M’raj Al
Salikin, Ayyuhal Wlad. Al
Ghazali menilai negatif
terhadap syathahat dan ia
sangat menolak paham hulul
dan utihad (kesatuan wujud),
untuk itu ia menyodorkan
paham baru tentang ma’rifat,
yakni pendekatan diri kepada
Allah (taqarrub ila Allah)
tanpa diikuti penyatuan
dengan-Nya.
a. Pandangan Al-Ghazali
tentang Ma’rifat
Menurut Al-Ghazali, ma’rifat
adalah mengetahui rahasia
Allah dan mengetahui
peraturan-peraturan Tuhan
tentang segala yang ada, alat
untuk memperoleh ma’rifat
bersandar pada sir-qolb dan
roh. Pada saat sir, qalb dan
roh yang telah suci dan
kosong itu dilimpahi cahaya
Tuhan dan dapat mengetahui
rahasia-rahasia Tuhan, kelak
keduanya akan mengalami
iluminasi (kasyf) dari Allah
dengan menurunkan
cahayanya kepada sang sufi
sehingga yang dilihatnya
hanyalah Allah, di sini
sampailah ia ke tingkat
ma’rifat.
b. Pandangan Al-Ghazali
tentang As-As’adah
Menurut Al-Ghazali, kelezatan
dan kebahagiaan yang paling
tinggi adalah melihat Allah
(ru’yatullah) di dalam kitab
Kimiya As-Sa’adah, ia
menjelaskan bahwa As-
Sa’adah (kebahagiaan) itu
sesuai dengan watak (tabiat).
Sedangkan watak sesuatu itu
sesuai dengan ciptaannya;
nikmatnya mata terletak pada
ketika melihat gambar yang
bagus dan indah, nikmatnya
telinga terletak ketika
mendengar suara merdu.
Demikian juga seluruh
anggota tubuh, mempunyai
kenikmatan tersendiri
Kenikmatan qolb sebagai alat
memperoleh ma’rifat terletak
ketika melihat Allah. Melihat
Allah merupakan kenikmatan
paling agung yang tiada
taranya karena ma’rifat itu
sendiri agung dan mulia.
Kelezatan dan kenikmatan
dunia tergantung pada nafsu
dan akan hilang setelah
manusia mati, sedangkan
kelezatan dan kenikmatan
melihat Tuhan tergantung
pada qalb dan tidak akan
hilang walaupun manusia
sudah mati, hal ini karena \
qalb tidak ikut mati, malah
kenikmatannya bertambah
karena dapat keluar dari
kegelapan menuju cahaya
terang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar