Selasa, 11 Agustus 2009

MAKALAH AGAMA ISLAMTENTANG I'JAZ AL-QUR'AN

MUQODIMAH
Pada kesempatan ini penulis
akan mengemukakan bahasan
tentang salah satu cabang
pokok bahasan Ulumul Qur'an
di antara cabang pokok
bahasan Ulumul Qur'an
adalah sebagai berikut:
Ilmu Adab Tilawat Al-Qur'an,
Ilmu tajwid, Ilmu Muwathim
An Nuzul, Ilmu Towarih An
Nuzul, Ilmu Ashab An Nuzul,
Ilmu Qiroat, Ilmu Ghaib Al-
Qur'an, Ilmu I’rab Al-Qur'an,
Ilmu Wiyahwa An Nazhair,
Ilmu Ma’rifat Al Muhkam Wa
Al-Mutasyabih, Ilmu Nasik wa
Al Mansuk, ilmu Badai’u Al-
Qur'an, ilmu Ijaz Al-Qur'an,
Ilmu Tawasub Ayat Al-Qur'an,
Ilmu Aqsam Al-Qur'an, Amtsal
Al-Qur'an, Ilmu Jadal Al-
Qur’an.
Dari kesekian ilmu-ilmu Al-
Qur'an penulis akan mencoba
mengemukakan bahasan
tentang I’jaz Al-Qur'an
A.Pengertian I’jaz Al-Qur'an
Kata i’jaz diambil dari kata
kerja a’jaza-i’jaza yang berarti
melemahkan atau menjadikan
tidak mampu. Ini sejalan
dengan firman Allah SWT
yang berbunyi.
ُتَزَجْعَأ ْنَأ َنْوُكَأ َلْثِم
ِباَرُغْلااَذَه َيِراَوُأَف
َةَءْوَس ْيِخَأ )ةدئاملا: 31 )
Artinya:
“…Mengapa aku tidak mampu
berbuat seperti burung gagak
ini, lalu aku dapat
menguburkan mayat
saudaraku ini” (QS. Al Maidah
(5): 31)
Lebih jauh Al-Qaththan
mendefinisikan I’jaz dengan:
ُراَهْظِإ ِقْدِص ِِّيِبَّنلا
ىَلَص ُهللا ِهْيَلَع َمَّلَسَو
ىَوْعَدىِف ِةَلاَسِّرلا ِراَهظاِب
ِزْجَع ِبَرَعْلا ْنَع ِهِتَزِجَعُم
ِةَدِلاَخلْا َيِهَو ُناْرُقلْا
ِرْجَعَو ِلاَيْجَألْا ْمُهَدْعَب .
Artinya:
“Memperlihatkan kebenaran
Nabi SAW. atas pengakuan
kerasulannya, dengan cara
membuktikan kelemahan
orang Arab dan generasi
sesudahnya untuk menandingi
kemukjizatan Al-Qur'an.”
Pelakunya (yang
melemahkan) dinamai
mu’jiz. Bila kemampuannya
melemahkan pihak lain amat
menonjol sehingga mampu
membungkam lawan, ia
dinamai mujizat. Tambahan ta’
marbhuthah pada akhir kata
itu mengandung makna
mubalighah (superlatif).
Mukjizat didefinisikan oleh
pakar agama Islam, antara
lain sebagai suatu hal atau
peristiwa luar biasa yang
terjadi melalui seorang yang
mengaku Nabi, sebagai bukti
kenabiannya sebagai
tantangan bagi orang ragu,
untuk melakukan atau
mendatangkan hal serupa,
tetapi tidak melayani
tantangan itu. Dengan redaksi
yang berbeda, mukjizat
didefinisikan pula sebagai
suatu yang luar biasa yang
diperlihatkan Allah SWT.
Melalui para Nabi dan Rasul-
Nya, sebagai bukti atas
kebenaran pengakuan
kenabian dan kerasulannya.
Atau Manna’ Al-Qhathan
mendefinisikannya demikian:
ُرْمَأ ٌقِراَخ ِةَداَعْلِل ٌنْوُرْقَم
ْيِّدَحَّتلاِب ٌمِلاَس ِنَع
ِةَضَراَعُملْا.
Artinya:
“Suatu kejadian yang keluar
dari kebiasaan, disertai
dengan unsur tantangan, dan
tidak akan dapat ditandingi.”
Unsur-unsur mukjizat,
sebagaimana dijelaskan oleh
Quraish Shihab, adalah:
1.Hal atau peristiwa yang luar
biasa
Peristiwa-peristiwa alam, yang
terlihat sehari-hari, walaupun
menakjubkan, tidak dinamai
mukjizat. Hal ini karena
peristiwa tersebut merupakan
suatu yang biasa. Yang
dimaksud dengan “luar biasa”
adalah sesuatu yang berbeda
di luar jangkauan sebab akibat
yang hukum-hukumnya
diketahui secara umum.
Demikian pula dengan hipnotis
dan sihir, misalnya sekilas
tampak ajaib atau luar biasa,
karena dapat dipelajari, tidak
termasuk dalam pengertian
“luar biasa” dalam definisi di
atas.
2.Terjadi atau dipaparkan oleh
seseorang yang mengaku
Nabi.
Hal-hal di luar kebiasaan tidak
mustahil terjadi pada diri
siapapun. Apabila
keluarbiasaan tersebut bukan
dari seorang yang mengaku
Nabi, hal itu tidak dinamai
mukjizat. Demikian pula
sesuatu yang luar biasa pada
diri seseorang yang kelak
bakal menjadi Nabi ini pun
tidak dinamai mukjizat,
melainkan irhash.
Keluarbiasaan itu terjadi pada
diri seseorang yang taat dan
dicintai Allah, tetapi inipun
tidak disebut mukjizat,
melainkan karamah atau
kerahmatannya. Bahkan,
karamah ini bisa dimiliki oleh
seseorang yang durhaka
kepada-Nya, yang terakhir
dinamai ihanah (penghinaan)
atau Istidraj (rangsangan
untuk lebih durhaka lagi).
Bertitik tolak dari kayakinan
umat Islam bahwa Nabi
Muhammad SAW. adalah Nabi
terakhir, maka jelaslah bahwa
tidak mungkin lagi terjadi
suatu mukjizat
sepeninggalannya. Namun, ini
bukan berarti bahwa
keluarbiasaan tidak dapat
terjadi dewasa ini.
3.Mendukung tantangan
terhadap mereka yang
meragukan kenabian
Tentu saja ini harus
bersamaan dengan
pengakuannya sebagai Nabi,
bukan sebelum dan
sesudahnya. Di saat ini,
tantangan tersebut harus pula
merupakan sesuatu yang
berjalan dengan ucapan sang
Nabi. Kalau misalnya ia
berkata, “batu ini dapat
bicara”, tetapi ketika batu itu
berbicara, dikatakannya
bahwa “Sang penantang
berbohong”, maka
keluarbiasaan ini bukan
mukjizat, tetapi ihanah atau
istidraj
4.Tantangan tersebut tidak
mampu atau gagal dilayani
Bila yang ditantang berhasil
melakukan hal serupa, ini
berarti bahwa pengakuan
sang penantang tidak terbukti.
Perlu digarisbawahi di sini
bahwa kandungan tantangan
harus benar-benar dipahami
oleh yang ditantang. Untuk
membuktikan kegagalan
mereka, aspek kemukjizatan
tiap-tiap Nabi sesuai dengan
bidang keahlian umatnya.
B.Dasar Dan Urgensi
Pembahasan I’jaz Al-Qur'an
1.Dasar Pembahasan I’jaz Al-
Qur'an
Di antara faktor yang
mendasari urgensi
pembahasan I’jaz Al-Qur'an
adalah kenyataan bahwa
persoalan ini merupakan salah
satu di antara cabang-cabang
pokok bahasan ulumul Al-
Qur'an (ilmu tafsir).
2.Urgensi pembahasan I’jaz Al-
Qur'an
Urgensi pembahasan I’jaz Al-
Qur'an dapat dilihat dari dua
tataran:
1.Tataran Teologis
Mempelajari I’jaz Al-Qur'an
akan semakin menambah
keimanan seseorang muslim.
Bahkan, tidak jarang pula
orang masuk Islam tatkala
sudah mengetahui I’jaz Al-
Qur'an. Terutama ketika
isyarat-isyarat ilmiah, yang
merupakan salah satu aspek
I’jaz Al-Qur'an, sudah dapat
dibuktikan.
2.Tataran Akademis
Mempelajari I’jaz Al-Qur'an
akan semakin memperkaya
khazanah keilmuan keislaman,
khususnya berkaitan dengan
ulum Al-Qur'an (ilmu tafsir)
C.Bukti Historis Kegagalan
Menandingi Al-Qur'an
Al-Qur'an digunakan oleh Nabi
Muhammad SAW untuk
menantang orang-orang pada
masanya dan generasi
sesudahnya yang tidak
mempercayai kebenaran Al-
Qur'an sebagai firman Allah
(bukan ciptaan Muhammad)
dan risalah serta ajaran yang
dibawanya. Terhadap mereka,
sungguhpun memiliki tingkat
fashahah dan balaghah yang
tinggi di bidang bahasa Arab,
Nabi memintanya untuk
menandingi Al-Qur'an dalam
tiga tahapan:
1.Mendatangkan semisal Al-
Qur'an secara keseluruhan,
sebagaimana dijelaskan pada
surat Al-Isra (17) ayat 88:
ْلُق ِنِئَل ِتَعَمَتْجا
َنْوَتْأَيَالْا هِلْثِمِب ْوَلَو
َناَك ْمُهُضْعَب ٍضْعَبِل
اًرْيِهَظ )ءارسإلا: 88 )
Artinya:
“Katakanlah, “Sesungguhnya
jika manusia dan jin
berkumpul untuk membuat
yang serupa Al-Qur'an ini,
niscaya mereka tidak akan
dapat membuat yang serupa
dengan dia, sekalipun
sebagian mereka menjadi
pembantu bagi sebagian
lain.” (Al-Isra (17): 88)
2.Mendatangkan satu surat
yang menyamai surat-surat
yang ada dalam Al-Qur'an,
sebagaimana dijelaskan oleh
surat Al-Baqarah (2) ayat 23:
ْنِإَو ْمُتْنُك ىِف ٍبْيَر اَّمِم
ىَلَعاَنْلَزَن ِدْبَع اَن
ٍةَرْوُسِباْوُتْأَف ْنِّم هِلْثِم
ْداَو اْوُع َءاَدَهُش ْمُك ْنِم
ِنْوُد ِهللا ْنِإ ْمُتْنُك
َنْيِقِدص. )ةرقبلا: 23 )
Artinya:
“Dan jika kamu (tetap) dalam
keraguan tentang Al-Qur'an
yang Kami wahyukan kepada
hamba Kami (Muhammad),
buatlah satu surat (saja) yang
semisal Al-Qur'an itu dan
ajaklah penolong-penolongmu
selain Allah, jika kami orang-
orang yang benar” (QS. Al
Baqarah (2): 23)
Sejarah telah membuktikan
bahwa orang-orang Arab
ternyata gagal menandingi Al-
Qur'an. Inilah beberapa
catatan sejarah yang
memperlihatkan kegagalan
itu:
1.Pemimpin Quraisy pernah
mengutus Abu Al-Walid,
seorang sastrawan ulung yang
tiada bandingannya untuk
membuat sesuatu yang mirip
dengan Al-Qur'an ketika Abu
Al-Walid berhadapan dengan
Rasulullah SAW. Yang
membaca surat Fushilat, ia
tercengang mendengar
kehalusan dan keindahan gaya
bahasa Al-Qur'an dan ia pun
kembali pada kaumnya
dengan tangan hampa.
2.Musailamah bin Habib Al
Kadzdzab yang mengaku
sebagai Nabi juga pernah
berusaha mengubah sesuatu
yang mirip dengan ayat-ayat
Al-Qur'an. Ia mengaku bahwa
dirinyapun mempunyai Al-
Qur'an yang diturunkan dari
langit dan dibawa oleh
Malaikat yang bernama
Rahman. Di antara gubahan-
gubahannya yang
dimaksudkan untuk
mendandingi Al-Qur'an itu
adalah antara lain:
ُعَدْفِضاَي ُتْنِب
ِنْيَعَدْفِض ْيِّقَن
َنْيِقَنُتاَم ِكَالْعَأ ىِف
ِءاَملْا ِكُلَفْسَأَو ىِف
ِنْيِّطلا.
Artinya:
“Hai katak, anak dari dua
katak. Bersihkan apa saja
yang akan engkau bersihkan,
bagian atas engkau di air dan
bagian bawah engkau di
tanah”.
Ketika itu pula, ia merobek-
robek apa saja yang telah ia
kumpulkan dan merasa malu
tampil di depan khalayak
ramai. Setelah peristiwa itu ia
mengucapkan kata-katanya
yang masyhur:
ِهللاَواَذه ُعْيِطَتْسَياَم
ُرَشَبلْا ْنَأ اْوُتْأَي
ِهِلْثِمِب
Artinya:
“Demi Allah, siapapun yang
tidak akan mampu
mendatangkan yang sama
dengan Al-Qur'an.”
D.Mukjizat Al-Qur'an Berupa
Gaya Bahasa
Susunan gaya bahasa Al-
Qur'an tidak sama dengan
gaya bahasa karya manusia
yang dikenal masyarakat Arab
saat itu. Al-Qur'an tidaklah
berbentuk syair, tidak pula
berbentuk puisi. Sehubungan
dengan itu, Quraish Shihab
menjelaskan bahwa ciri-ciri
gaya bahasa Al-Qur'an dapat
dilihat pada tiga point:
1.Susunan Kata dan Kalimat
Al-Qur'an
Poin ini menyangkut:
a.Nada dan langgamnya yang
unik
Ayat-ayat Al-Qur'an walaupun
sebagaimana telah ditegaskan
Allah bukan syair atau puisi,
tetapi terasa dan terdengar
mempunyai keunikan dalam
irama dan ritmenya. Hal itu
diakui pula oleh cendekiawan
Inggris, Marmaduke Pickhall,
dalam The Meaning of
Glorious Qur'an. Pickhall
berkata, “Al-Qur'an
mempunyai simfoni yang tiada
taranya sehingga nada-
nadanya dapat menggerakan
manusia untuk menangis dan
bersuka cita.” Hal ini karena
huruf dari kata-kata dalam Al-
Qur'an melahirkan keserasian
bunyi dan kumpulan kata-kata
itu melahirkan keserasian
irama. Bacalah misalnya,
Surat An-Nazilat (79): 1-4
ِتعِزَّنلاَو اًقْرَغ. ِتطِشّنلاَو
اًطْشَن. ِتحِبّسلاَو اًحْبَس.
ِتقِبّسلاَف اًقْبَس.
)تاعزانلا: 1-4 )
b.Singkat dan padat
Contohnya simaklah surat Al-
Baqarah (2) ayat 212
......... ُهللاَو ُقُزْرَي ْنَم
ءآَشَي ِرْيَغِب ٍباَسِح.
)ةرقبلا: 212 )
Ayat ini dapat berarti:
1.Allah memberikan rezeki
kepada siapa yang
dikehendaki tanpa ada yang
berhak mempertanyakan
mengapa Dia memperluas
rezeki seseorang dan
mempersempit yang lain.
2.Allah memberikan rezeki
kepada siapa yang
dikehendaki-Nya tanpa
memperhitungkan pemberian
itu (karena Dia Maha Kaya,
sama dengan seorang yang
tidak memperdulikan
pengeluarannya)
3.Allah memberikan rizki
kepada seseorang yang tidak
menduga rezeki tersebut
4.Allah memberikan rezeki
kepada seseorang tanpa
menghitung terlebih dahulu
secara detil amal-amal orang
itu.
5.Allah memberikan rezeki
kepada seseorang dalam
jumlah yang amat banyak
sehingga yang bersangkutan
tidak mampu menghitungnya.
c.Memuaskan Para Pemikir
dan Orang Awam
Seorang awam akan merasa
puas karena memahami ayat-
ayat Al-Qur'an sesuai dengan
keterbatasannya. Akan tetapi,
ayat yang sama dapat
dipahami dengan luas oleh
filosof alam pengertian baru
yang tidak terjangkau oleh
orang awam.
d.Memuaskan Akal dan Jiwa
Manusia memiliki daya pikir
dan daya rasa atau akal dan
kalbu. Daya pikirnya
memberikan argumentasi-
argumentasi guna mendukung
pandangannya, sedangkan
daya kalbu mengantarkannya
untuk mengekspresikan
keindahan ayat-ayat Al-Qur'an
dan mengembangkan
imajinasinya. Dalam
berbahasa, kedua daya
tersebut sukar dipadamkan
pada saat yang sama. Namun,
Al-Qur'an mampu
menggabungkan keduanya
pada saat yang bersamaan.
e.Keindahan dan Ketepatan
Maknanya
Sebagai contoh, pada surat
Az-Zumar (39) terdapat uraian
tentang orang-orang kafir dan
mukmin yang diantar oleh
para Malaikat ke neraka dan
surga. Bacalah ayat-ayat
berikut:
َقْيَسَو َنْيِذَّلا اوُرَفَك
ىلِا َمَّنَهَج اًرَمُز ىَّتَح
اَهْوُءاَجاَذِا ْتَحِتُف
َلَقَواَهُبوْبَأ ْمُهَل
ْمَلَأاَهُتَنَزَخ ْمُكِتْأَي
ٌلُسُر ْمٌكْنِم َنْوُلْتَي
ْمٌكْيَلَع ِتيا ْمُكِّبَر ....
)رمزلا: 71 )
Artinya:
“Orang-orang kafir dibawa ke
neraka Jahanam berombong-
rombong. Sehingga apabila
mereka sampai ke neraka itu
dibukakanlah pintu-pintunya
dan berkatalah kepada
mereka penjaga-penjaganya,
“Apakah belum pernah datang
kepadamu Rasul-Rasul di
antaramu yang membacakan
kepadamu ayat-ayat Tuhan…”
E.Perbedaan Pendapat
Tentang Aspek-Aspek
Kemukjizatan Al-Qur'an
Pada ulama telah berbeda
pendapat ketika menjelaskan
aspek-aspek kemukjizatan Al-
Qur'an. Perbedaan pendapat
ini dapat dilihat pada uraian
berikut:
1.Menurut Golongan Sharfah
Hingga menjelang abad 3 H.,
term I’jaz masih dipahami oleh
para ulama sebagai keunikan
Al-Qur'an yang tidak dapat
ditiru oleh siapapun. Namun
berkat pengaruh Al-Jahiz,
seorang tokoh Mu’tazilah,
term itu lebih dispesifikasikan
pada gaya retorika Al-Qur’an.
pada perkembangan
selanjutnya, seorang tokoh
Mu’tazilah lainnya, yakni Abu
Ishaq An Nazhzham (w. 231 H.)
, dan tokoh Syi’ah, yakni Al-
Murtadha, berpendapat
bahwa kemukjizatan Al-Qur'an
itu disebabkan karena adanya
sharfah (pemalingan), yakni
Allah sebagaimana
didefinisikan An-Nazhzham
telah memalingkan manusia
untuk menantang Al-Qur'an
dengan cara menciptakan
kelemahan padanya sehingga
tidak dapat mendatangkan
sesuatu yang sama dengan Al-
Qur'an. Seandainya Allah
tidak memalingkan manusia,
demikian kata An-Nazhzham,
niscaya manusia mampu
menandingi Al-Qur'an. Adapun
Al-Murtadha menjelaskan
bahwa Allah telah mencabut
ilmu yang dibutuhkan dalam
bertanding.
Pandangan seperti ini
mendapat dukungan pula dari
tokoh Mu’tazilah lainnya,
seperti Hisyam Al-Fuwatiti (w.
218 H) Abbad bin Ibn Hazm Al-
Andalusi (dari golongan Azh-
Zhahiri). Ibnu Hazm lebih jauh
berpendapat bahwa ketika
berfirman, Allah memberikan
daya yang melemahkan
manusia untuk menandingi Al-
Qur'an. Sementara itu, Ali bin
Isa Ar-Rummani melihat lebih
jauh lagi, yakni bahwa Allah
telah mengalihkan perhatian
umat manusia sehingga
mereka tidak mempunyai
keinginan untuk menyusun
suatu karya untuk menandingi
Al-Qur'an. Membuat orang
tidak tertarik melakukan
rivalitas terhadap kitab suci ini
merupakan suatu yang luar
biasa.
Pendapat tokoh-tokoh besar
Mu’tazilah itu tidak terlepas
dari penghargaan mereka
terhadap kemampuan akal
manusia. Akan tetapi,
pendapat mereka kemudian
dikritik oleh para ulama di
luar Mu’tazilah, dan juga
sebagian ulama Mu’tazilah
sendiri yang melihat
kemukjizatan Al-Qur'an dari
sudut ajarannya, ilustrasi, dan
kebahasaannya.
Pada ulama membantah
paham sharfah tersebut,
mereka menjelaskan bahwa
paham itu telah menuduh
Tuhan menantang seseorang
untuk berbicara, tetapi Dia
memotong atau melemahkan
lidah orang itu terlebih
dahulu. Padahal jika dirunut
dari latar belakang teks-teks
tentang tahaddi (tatanan) Al-
Qur'an, jelaslah bahwa kaum
kafir Quraisy pada waktu saat
itu merasa mampu
mendatangkan kitab serupa
Al-Qur'an meskipun
kenyataannya mereka tidak
berdaya atau tidak berhasil.
Pandangan sharfah ini, kata
mereka, mengimplikasikan
pandangan bahwa sebenarnya
kemukjizatan Al-Qur'an bukan
karena esensi (dzat)-nya,
tetapi karena ada faktor lain,
yakni pemalingan potensi
manusia oleh Tuhan. Dengan
kata lain, paham ini
menjelaskan bahwa Al-Qur'an
bukan mu’jiz bi dzatihi tetapi
mu’jiz bi ghairihi.
Secara rinci Az-Zakarsyi
mengemukakan kelemahan
argumentasi An-Nazhzham
dan Ar-Rummani sebagai
berikut:
a.Firman Allah pada surat Al-
Isra (17) ayat 88
memperlihatkan kelemahan
bangsa Arab menyusun karya
besar yang sejajar dengan Al-
Qur'an. Dan kalau Allah yang
melarang mereka, maka
mu’jiz (kelemahan) itu bukan
Al-Qur'an, tetapi justru Allah
sendiri. Padahal ayat yang
menantang mereka menyusun
karya yang sejajar dengan Al-
Qur'an, bukan untuk
menandingi kebesaran Tuhan.
b.Masyarakat Arab pada saat
itu mungkin saja mampu
membuat karya spesifik yang
pembahasannya sama dengan
Al-Qur'an, tetapi mereka
mengalami kesukaran untuk
menandingi isi dan ilustrasinya
c.Al-Qur'an mengemukakan
hal-hal gaib yang akan terjadi
pada masa yang akan datang
dalam kehidupan ini, di
samping berita-berita alam
akhirat yang akan dialami
manusia kelak. Segala yang
dikemukakan Al-Qur'an
tersebut kemudian terbukti
dalam perjalanan hidup
manusia ini. Misalnya, Allah
memberikan dalam surat An-
Nur (24) ayat 55 bahwa umat
Islam akan menjadi adikuasa
di dunia ini. Hal itu benar-
benar telah terjadi ketika
dinasti Abbasiyah berada
dalam masa kejayaannya dan
ketika muncul tiga kerajaan
besar, yaitu Mughal di India,
Safawi di Persia, dan Turki
Usmani di Turki antara abad
15-17 M. Al-Qur'an juga
memberitahukan pada surat
Ar-Rum (30) ayat 1-2 bahwa
Kerajaan Romawi Timur akan
hancur. Ini terbukti pada abad
ke 14 M., Pasca Abbasiyah,
pada masa kekuasaan Turki
Utsmani
d.Al-Qur'an mengemukakan
kisah-kisah lama yang tidak
terangkat dalam cerita-cerita
Arab, seperti kisah Nabi Nuh,
Nabi Luth, dan Nabi Harun,
serta kisah Nabi lain dan
perlawanan masyarakatnya
terhadap dakwah mereka dan
akibat-akibat perlawanan
tersebut.
Beberapa karakter inilah yang
memperkuat alasan bahwa
kemukjizatan Al-Qur'an bukan
terletak pada kekuasaan
Allah, tetapi justru Al-Qur'an
sendiri yang memiliki
kekuatan yang sedemikian
rupa sehingga masyarakat
Arab tidak mampu
menciptakan karya yang
setara. Oleh sebab itu,
pernyataan, orang-orang
Mu’tazilah yang menyetarakan
Al-Qur'an dengan buku Ad-
Dirar dan At-Talamiyah karya
ibnu Al-Muqaffa adalah
pernyataan yang sangat keliru
dan sesat. Kedua karya
tersebut, menurut Al-Baqilani,
amat jauh dibandingkan
dengan Al-Qur'an dari segi isi,
ilustrasi dan pembahasannya.
2.Menurut Imam Fakhruddin
Aspek kemukjizatan Al-Qur'an
terletak kepada kefasihan,
keunikan redaksi, dan
kesempurnaannya dari segala
bentuk cacat. Sementara itu,
menurut Az-Zamlakani, aspek
kemukjizatan terletak pada
penyusunan yang spesifik.
3.Menurut ibnu Athiyyah
Aspek kemukjizatan Al-Qur'an
yang benar dan yang dianut
oleh mayoritas ulama
diantaranya Al-Haddad-
terletak pada runtutannya,
makna-maknanya yang dalam,
dan kata-katanya yang fasih.
Hal tersebut karena Al-Qur'an
merupakan firman Allah Dzat
Yang Maha Mengetahui. Al-
Qur'an sungguh diliputi oleh
pengetahuan-Nya. Bila urutan-
urutan ayatnya dicermati,
tampaklah keserasian antara
satu ayat dengan ayat yang
mengiringinya. Serasi pula
antara makna satu ayat
dengan ayat yang
mengiringinya. Begitulah yang
terdapat pada Al-Qur'an,
mulai dari pembuka sampai
penutupnya. Manusia diliputi
oleh kebodohan dan kealpaan
sehingga tidak mungkin dapat
melakukan hal yang
menyerupai Al-Qur'an.
4.Menurut Sebagian Ulama
Sebagian ulama berpendapat
bahwa segi kemukjizatan Al-
Qur'an terkandung dalam Al-
Qur'an itu sendiri, yaitu
susunan yang tersendiri dan
berbeda dengan bentuk puisi
orang Arab maupun bentuk
prosanya, baik dalam
permulaan, suku kalimatnya
maupun dalam pengutuasinya
5.Menurut Sebagian Ulama
Lagi
Sebagian ulama lain
berpendapat bahwa segi
kemukjizatan itu terkandung
dalam kata-katanya yang
jelas, redaksinya yang bernilai
sastra dan susunannya yang
indah. Nilai sastra yang
terkandung dalam Al-Qur'an
itu sangat tinggi dan tidak ada
bandingannya.
6.Menurut Ash-Sahabuni
Ash-Shabuni mengemukakan
segi-segi kemukjizatan Al-
Qur'an seperti sebagai
berikut:
a.Susunannya yang indah dan
berbeda dengan karya-karya
yang ada dalam bahasa orang-
orang Arab
b.Adanya uslub (style) yang
berbeda dengan uslub-uslub
bahasa Arab
c.Sifat keagungannya yang tak
memungkinkan seseorang
untuk mendatangkan yang
serupa dengannya
d.Bentuk undang-undang di
dalamnya sangat rinci dan
sempurna melebihi undang-
undang buatan manusia.
e.Mengabarkan hal-hal gaib
yang tidak dapat diketahui,
kecuali melalui wahyu
f.Uraiannya tidak
bertentangan dengan
pengetahuan umum yang
dipastikan kebenarannya
g.Janji dan ancaman yang
dikabarkan benar-benar
terjadi
h.Memenuhi segala kebutuhan
manusia
i.Berpengaruh bagi hati
pengikutnya dan orang-orang
yang memusuhinya
7.Menurut Quraish Shihab
Quraish Shihab memandang
segi-segi kemukjizatan Al-
Qur'an dalam tiga aspek,
yaitu:
a.Aspek keindahan dan
ketelitian redaksi-redaksinya
Dalam Al-Qur'an dijumpai
sekian banyak contoh tentang
keseimbangan yang serasi
antara kata-kata yang
digunakan yaitu:
1.Keseimbangan antara
jumlah kata dan anonimnya
2.Keseimbangan jumlah
bilangan kata dengan
sinonimnya/makna yang
dikandungnya
3.Keseimbangan antara
jumlah bilangan kata dengan
jumlah yang menunjukan
akibatnya
4.Di samping keseimbangan
tersebut, juga keseimbangan
khusus lainnya
b.Berita tentang hal-hal yang
gaib
Sebagaimana ulama
mengatakan bahwa sebagian
mukjizat Al-Qur'an itu adalah
berita gaib. Salah satu
contohnya adalah Fir’aun,
yang mengejar-ngejar Nabi
Musa. Hal ini, diceritakan
dalam surat Yunus (10) ayat
92:
َمْوَيلْاَف َكْيِجْنُن
َكِنَدَبِب َنْوُكَتِل ْنَمِل
َكَفْلَخ ًةَيَأ َّنِإَو اًرْيِثَك
َنِم ِساَّنلا ْنَع
َنْوُلِفغَلاَنِتيأ.
Artinya
“Maka pada hari Kami
selamatkan badanmu supaya
kamu dapat menjadi pelajaran
bagi orang-orang datang
sesudahmu dan sesungguhnya
kebanyakan dari manusia
lengah dari tanda-tanda
kekuasaan Kami.”
KESIMPULAN
Dari makalah dapat di ambil
kesimpulan bahwa Al-Qur'an
ini adalah Mukjizat terbesar
yang diberikan Allah kepada
Nabi Muhammad SAW. Kita
tahu bahwa setiap Nabi diutus
Allah selalu dibekali mukjizat
untuk meyakinkan manusia
yang ragu dan tidak percaya
terhadap pesan atau misi yang
dibawa oleh Nabi.
Mukjizat ini selalu dikaitkan
dengan perkembangan dan
keahlian masyarakat yang
dihadapi tiap-tiap Nabi, setiap
mukjizat bersifat menantang
baik secara tegas maupun
tidak, oleh karena itu
tantangan tersebut harus
dimengerti oleh orang-orang
yang ditantangnya itulah
sebabnya jenis mukjizat yang
diberikan kepada para Nabi
selalu disesuaikan dengan
keahlian masyarakat yang
dihadapinya dengan tujuan
sebagai pukulan yang
mematikan bagi masyarakat
yang ditantang tersebut.
Demikianlah dalam hal ini
penulis akhiri makalah ini tak
lupa mohon maaf kepada
semua pihak, kritik dan saran
penulis harapkan demi
perbaikan penulisan makalah
ini selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Aceh Abu Bakar. Sejarah Al-
Qur'an. Ramadhani, Solo.1989
Ash Shiddiqy TM Hasby,
Sejarah dan Pengantar Ilmu
Al-Qur'an, Bulan Bintang
Jakarta. 1994
Baldan nasrudin. Metodologi
Penafsiran Al-Qur'an. Pustaka
pelajar, Yogyakarta. 1998
Ismail Muhammad Bokar.
Dirosat fi Ulum Al-Qur'an, Dar
Al-Manar, Kairo 1991
Marjuki Kamaludin, Ulum Al-
Qur'an. Rosda Karya,
Bandung. 1992
Munawar Said Agil Husain. Al-
I’jaz Al-Qur'an Dan Metodologi
Tafsir.
Rafiqi Mustofa Shadiq. Al-I’jaz
Al-Qur'an. Dar Al-Kitab. Al-
Arabi, Beriut. 1990.
Drs. Rosihan Anwar, M.Ag,
Ilmu Tafsir. Pustaka Setia,
Bandung. 2000
Drs. Rosihan Anwar, M.Ag,
Ulumul Qur'an. Pustaka Setia,
Bandung. 2000

Tidak ada komentar:

Posting Komentar