Selasa, 30 Juni 2009

MAKALAH FIQIH TENTANGSHOLAT TAHAJUD

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Ibadah sunnah adalah
ibadah yang apabila
dikerjakan mendapat pahala
dan apabila tidak dikerjakan
tidak berdosa. Sengaja
disyariatkan Shalat sunnat
ialah untuk menambal
kekurangan yang mungkin
terdapat pada shalat-shalat
fardlu juga karena Shalat itu
mengandung keutamaan yang
tidak terdapat pada ibadat-
ibadat lain. Umumnya, setiap
individu memandang bahwa
Shalat sunnah itu tidak begitu
penting karena ada ibadat lain
yang lebih penting dan
hukumnya wajib yaitu Shalat
fardlu. Dalam hal ini penyusun
merasa tertarik untuk
membuat makalah yang
membahas tentang Shalat
tahajjud. Maka dengan ini
penyusun mengambil judul
“Shalat Thajjud”.
2. Identifikasi Masalah
Umumnya, Shalat
tahajjud dikerjakan karena
seseorang sedang mempunyai
masalah dalam hidupnya atau
karena semata-mata ingin
mendekatkan diri dan
mendapatkan ridho Allah
SWT. Dari uraian di atas,
penyusun mengidentifikasi
masalah sebagai berikut:
1. Alasan-alasan seseorang
melakukan Shalat tahajjud
2. Alasan-alasan seseorang tidak
melakukan ibadat Shalat
tahajjud
3. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui lebih
dalam tentang sholat tahajjud
dan alasan-alasan orang
melakukan dan tidak
melakukan shalat tahajud.
4. Ruang Lingkup Masalah
Agar masalah
penelitian tidak terlalu luas
dan lebih terfokus pada
masalah dan tujuan penelitian
maka dengan ini penulis
membatasi masalah penelitian
hanya pada ruang lingkup
shalat tahajud.
5. Metode Penelitian
Untuk memperoleh
data bahan penelitian makah
ini, penulis menggunakan
metode deskriptif. Penelitian
ini bertujuan untuk
memberikan gambaran
tentang suatu masyarakat
atau kelompok orang tertentu
atau gambaran tentang suatu
gejala atau lebih (Atheron dan
Klemmack: 1982).Biasanya
penelitian deskriptif dimulai
dengan mendesain penelitian,
pengumpulan data,
pengolahan data sampai
penyajian data.
Adapun azas teknik
pengumpulan data yang
dilakukan penulis adalah
sebagai berikut:
1. Penelitian Lapangan
Merupakan penelitian dengan
cara penelitian langsung ke
lapangan untuk memperoleh
data dan informasi yang
diperlukan dari objek
penelitian. Hal ini dilakukan
dengan beberapa cara yaitu
sebagai berikut:
1. Wawancara
Adalah pengumpulan data
dengan mengajukan
pertanyaan secara langsung
oleh pewawancara
(pengumpul data) kepada
responden, dan jawaban-
jawaban responden dicatat
atau direkam (Soehartono
Irwan DR: 1995).
2. Observasi
Secara luas, observasi atau
pengamatan berarti setiap
kegiatan untuk melakukan
pengukuran (Soehartono
Irwan DR:1995). Atau
observasi disebut pula dengan
pengamatan, meliputi
kegiatan pemusatan perhatian
terhadap sesuatu objek
dengan menggunakn seluruh
alat indera (Arikunto
Suharsimi Dr:1989).
2. Penelitian Kepustakaan
Yaitu penelitian yang
dilakukan melalui
kepustakaan, mengumpulkan
data-data dan keterangan
melalui buku-buku dan bahan
lainnya yang ada hubungannya
dengan masalah-masalah yang
diteliti.
BAB II
LANDASAN TEORI
1. PENGERTIAN
Shalat tahajjud adalah shalat
sunnah yang dikerjakan pada
malam hari setelah
tidur,adapun batas waktunya
adalah setelah shalat isya
sampai sebelum subuh.
1. KEUTAMAANNYA
Allah telah memerintahkan
kepada Nabi-Nya agar
menjalankan shalat malam itu
sebagaimama firman-Nya:
َو َنِم ِلْيَلْا ْدَجَهَتَف ِهِب
ًةَلِفاَن َكَل ىَسَع ْنَأ
َكَثَعْبَي َكُّبَر
اًدْوُمْحَماًماَقَم
“Dan dari sebagian malam itu
gunakanlah untuk bertahajjud
sebagai shalat sunnah bagimu,
semoga Tuhanmu akan
membangkitkanmu pada
kedudukan yang terpuji.”
Dijelasakan oleh Allah bahwa
orang-orang yang menjaga
shalat malam itulah
sebenarnya yang berhak dan
layak menerima kebaikan
serta rahmat-Nya,
sebagaimana firman-Nya:
َّنِإ ََنْيِقَتُملا ىِف ٍتاَنَج
ٍنْوُيُعَو ًَنِذِخأ ْمُهاَتااَم
ْمُهُّبَر ْمُهَّنِإ َلْبَقاْوُناَك
َكِلَذ َنْيِنِسْحُم
ًالْيِلَقاوُناَك َنِم ِلْيَللا
َنْوُعَجْهَياَم َو
ْمُهِراَحْسَألاِب
َنْوُرِفْغَتْشَي.
“Sesungguhnya orang-orang
yang bertaqwa itu berada
dalam kebun-kebun dikelilingi
mata air. Mereka menerima
segala pemberian Allah,
sebab dahulu sebelum itu
mereka selalu berbuat
kebaikan. Bahkan dahulu
mereka sedikit sekali tidur di
waktu malam dan selalu
memohonkan ampunan di
waktu pagi-pagi sebelum
fajar.
Mereka dipuji oleh Allah dan
dimasukkan dalam golongan
hamba-hamba-Nya yang
berbakti,sebagaimana firman-
Nya:
ِنَمْحَّرلاُداَبِعَو َنْيِذَّلا
َنْوُشْمَي ىَلَع ِضْرَألا اًنْوَه
اَذِإَو ُمُهَبَطَخ َنْوُلَهاَجَلْا
اًمَالَسْاوُلاَق,َنْيِذَّلَاَو
َنْوُتْيِبَي ْمِهِّبَرِل
اًدَّجُس اًماَيِقَو.
“Dan hamba-hamba Allah
Yang Maha Pengasih, ialah
mereka yang berjalan di bumi
dengan merendahkan diri dan
apabila diganggu oleh
pembicaraan orang-orang
bodoh, mereka itu semalam-
malaman beribadat kapada
Allah, baik dengan sujud
maupun dengan berdiri.”
Mereka diakui keimanannya
oleh Allah.
Abdullah Bin Salam berkata:
“Pada waktu pertama kali
Rasulullah saw datang di
Madinah, orang-orang pun
berduyun–duyun
mengerumuninya. Saya sendiri
orang yang datang
kepadanya. Ketika saya
perhatikan wajahnya, yakinlah
saya bahwa wajah beliau itu
bukan wajah seorang
pendusta. Pertama-tama
sabda yang saya dengar dari
beliau adalah: ‘Wahai sekalian
manusia, sebarkanlah salam,
berikanlah makanan,
hubungilah semua kerabat,
bershalatlah di waktu malam
dikala orang-orang sedang
tidur, pasti kamu semua akan
masuk surga dengan selamat
sejahtera.
Salman Farisi berkata:
“Rasulullah saw bersabda:
‘Kerjakanlah shalat malam,
sebab itu adalah kebiasaan
orang-orang shaleh
sebelummu dahulu, juga suatu
jalan untuk mendekatkan diri
kepada Allah, pula sebagai
penebus kejelekan-
kejelekanmu, pencegah dosa
serta dapat menghalaukan
penyakit dari badan’.”
3. WAKTUNYA
Shalat tahajjud itu dapat
dikerjakan dipermulaan, di
pertengahan atau di
penghabisan malam, asalkan
sesudah menunaikan shalat
isya dan sesedah tidur. Sebaik-
baiknya waktu untuk
melakukan shalat malam itu
ialah sepertiga malam yang
terakhir.
1. Dari Abu Hurairah r.a. bahwa
Rasulullah saw
bersabda:”Tuhan kita ‘azza wa
jalla tiap malam turun ke
langit dunia pada sepertiga
malam yang terakhir. Pada
saat itu Allah berfirman:
‘Barang siapa yang berdo’a
kepada-Ku pasti Kukabulkan,
barang siapa yang memohon
pada-Ku pasti Kuberi, dan
barang siapa yang meminta
ampun padaKu pasti Ku
ampuni.’
2. Dari Amr bin Absah : “Saya
mendengar Nabi saw
bersabda: ‘Sedekat-dekatnya
hamba pada Allah ialah pada
tengah malam yang terakhir.
Maka jikalau engkau dapat
termasuk golongan orang
yang berdzikir kepada Allah
pada saat itu, usahakanlah’!
4. BILANGAN RAKAATNYA
Shalat malam itu tidak
mempunyai bilangan yang
terbatas atau tertentu, jadi
sudah hasil hanya dengan
serakaat shalat sunnah witir
sesudah isya.
Dari Anas r.a. dari Nabi saw
sabdaya: “Shalat di mesjidku
ini sama nilainya dengan
sepuluh ribu shalat, shalat di
masjidil haram sama dengan
seratus ribu shalat, shalat di
medan jihad sama dengan dua
juta shalat. Tapi yang lebih
banyak dari kesemuanya itu
adalah dua rakaat yang
dikerjakan oleh seseorang
hamba di tengah malam.”
Yang lebih utama ialah
menetapkan shalat malam
secara terus-menerus
sebanyak sebelas atau tiga
belas rakaat.
5. BEBERAPA TATA TERTIBNYA
Seseorang yang hendak
melakukan shalat malam itu
disunatkan:
1. Di waktu akan tidur,
hendaklah ia berniat hendak
bangun untuk bershalat.
2. Berusaha menghilangkan
kantuk itu dari mukanya di
kala bangun, kemudian
bersuci.
3. Sebaiknya shalat malam itu
dimulai dengan mengerjakan
dua rakaat yang ringan dan
selanjutnya bolehlah bershalat
sesuka hati.
4. Hendaknya dibangunkan pula
keluarga.
5. Hendaklah menghentikan
shalat dulu dan kembali tidur
bila terasa sangat mengantuk
sampai hilang kantuknya itu.
6. Hendaknya jangan
memberatkan diri. Jadi
hendaklah bershalat malam
itu tidak sekedar tenaga,
tetapi hendaklah
mengerjakannya dengan
tekun dan jangan sampai
meninggalkan kecuali dalam
keadaan yang sangat
terpaksa.
6. KIAT MEMPERMUDAH
BANGUN MALAM
Imam Ghazali rah.a. telah
membagi asbab (cara
memudahkan) bangun malam
menjadi dua, yaitu zahir dan
sebab bathin.
1. Asbab zhahir yaitu:
1. Menyedikitkan makan, karena
banyak makan akan banyak
minum dan banyak tidur
sehingga susah bangun
tahajjud.
2. Mengurangi kesibukan,
keletihan dan pekerjaan-
pekerjaan berat di siang hari
karena apabila terlalu letih
maka akan banyak tidur.
3. Jangan meninggalkan qailullah
(tidur pada siang hari) karena
ini juga akan memudahkan
bangun malam. Rasulullah
saw bersabda “Qailullah-lah di
siang hari dan carilah
pertolongan Allah
Qiyamullail”.
4. Hindarilah maksiat dan dosa-
dosa karena ini juga
memudahkan bangun malam.
Sebab apabila seorang
berdosa maka hatinya akan
keras dan kerasnya hati akan
menjauhkan diri dari Allah
SWT.
2. Asbab Bathin yaitu:
1. Menjaga hati dari sifat kinah
(mengada-ada), bid’ah serta
merisaukan dan memikirkan
perkara duniawi, karena
barang siapa sibuk dengan
memikirkan dunia, ia tidak
akan mudah untuk bangun
malam.
2. Takut akan akhirat,
membayangkan pemandangan
neraka, dan menahan tidur
manusia.
3. Fikirkanlah keutamaan
tahajjud yang tertera dalam
ayat al-qur’an, hadits, dan
atsar. Supaya timbul gairah
dalam hati untuk
mendapatkan pahala.
4. Timbulkanlah keyakinan
dalam hati bahwa berapa
banyak ayat Al-qur’an yang di
baca dalam shalat,
hakekatnya adalah berbicara
pada Allah SWT dan Allah
SWT mengetahuinya.
7. ADAB-ADAB TAHAJJUD DAN
MASALAH–MASALAH
TAHAJJUD SECARA FIQH
Adapun adab-adab shalat
tahajjud adalah sebagai
berikut:
1. Apabila bangun untuk shalat
tahajjud maka yang pertama
kali adalah berdzikir kepada
Allah SWT,
2. Apabila bangun shalat
tahajjud maka berwudhulah
dan bersiwaklah karena itu
adalah salah satu adab-adab
dalam shalat tahajjud.
3. Sebagian para ulama
berpendapat bahwa apabila
bangun pada malam hari
hendaknya mandi. Kebiasaan
Abdul Azis bin Zakaria dan
kawan-kawannya, yaitu setiap
malam setelah shalat isya
mandi untuk beribadah karena
mandi sebelum shalat tahajjud
adalah lebih baik.
4. Memakai wangi-wangian dan
memakai pakaian yang bagus.
5. Setelah semua yang telah
disebutkan di atas
dilaksanakan maka
bentangkan sajadah dan
berdirilah menghadap kiblat
dengan penuh khusu dan
khudu. Kemudian bacalah doa
sebagaimana yang terdapat
dalam berbagai hadits.
Setelah itu mulailah shalat.
6. Pada waktu shalat tahajjud
yakni pada waktu ruku,
berdiri, dan sujud hendaknya
setiap bacaannya dibaca satu
kali, sebagaimana telah
diriwayatkan dari Rasulullah
saw.
7. Hendaklah membaca Al-
qur’an dengan tartil.
8. Hendaklah berdo’a ketika
mendengar ataupun membaca
ayat rahmat atau ayat azab.
9. Ketika melaksanakan shalat
tahajjud, hendaklah tawajjuh
pada Allah dengan sempurna
dan hendaklah menangis.
10. Apabila datang kantuk maka
tidurlah.
11. Kalau tertinggal bangun
malam (shalat tahajjud) maka
hendaklah menggantinya pada
siang hari hal ini juga
termasuk adab.
12. Berniat untuk bangun malam
(shalat tahajjud) sebelumnya,
karena kalau tertidur terus
(sehingga tidak bangun), Allah
akan memberikan juga pahala
shalat tahajjud.
13. Barang siapa meyakini akan
bangun pada akhir malam
maka sunnah baginya
mengakhirkan shalat witir.
Masalah-masalah tahajjud
secara fiqh:
1. Menurut para fuqaha (ulama
ahli fiqh) shalat tahajjud
adalah mustahab, dan mereka
menggolongkannya pada
mandubat lail (amalan sunnah
di malam hari). Akan tetapi
qadhi tsanaullah mencatatnya
sebagai sunnah muakadah
(sunnah yang dikuatkan/
ditekankan).
2. Para fuqaha pada umumnya
berpendapat bahwa shalat
tahajjud sekurang-kurangnya
dua rakaat dan sebanyak-
banyaknya delapan rakaat.
Akan tetapi pada sebagian
riwayat di jelaskan juga dua
belas rakaat dan tidak ada
sumbernya lebih dari dua
belas rakaat.
3. Orang yang sudah biasa
istiqomah melakukan shalat
tahajjud maka makruh
meninggalkannya jika tanpa
udzur (halangan)
4. Berdasarkan hasil fatwa
ulama shalat tahajjud lebih
utama dilakukan dua rakaat
dua rakaat.
5. Shalat tahajjud pada sepertiga
malam yang akhir adalah
lebih utama.
BAB III
PEMBAHASAN
Pada kesempatan ini,
penulis mengambil 100 orang
sebagai objek penelitian.
Jenis kelamin St
L P Pelajar / mahasisw
70 30 70
1. Tabel alasan orang
melakukan ibadah shalat
tahajjud.
Dari grafik diatas dapat
dilihat bahwa alasan orang
melakukan shalat tahajjud
adalah karena sedang sedih/
banyak masalah. Dalam hal ini
sedang sedih/banyak masalah
bisa disebabkan karena
diputuskan pacar, banyak
hutang, masalah keluarga,
sedang tertimpa musibah,dll.
Dan …..% alasan orang
melakukan ibadah shalat
tahajjud adalah karena sedang
ujian. Hal ini sangat mungkin
terjadi mengingat objek
penelitian penulis sebagian
besar berasal dari kalangan
pelajar/mahasiswa yaitu 70%.
Para pelajar/mahasiswa yang
melakukan shalat tahajjud
karena sedang ujian/test
tentunya mempunyai harapan
agar ketika ujian/test diberi
ketenangan hati, kejernihan
fikiran, kondisi badan yang
sehat serta sukses/lulus dalam
ujian. Sedangkan dari
kalangan kepala keluarga/ibu
rumah tangga alasan
bertahajjud karena ingin
anaknya yang sedang ujian
lulus, karena ingin masalah
dalam keluarga bisa
terselesaikan serta
keluarganya dijadikan
keluarga yang sakinah,
mawadah, warohmah,dll. Dan
….% alasan orang bertahajjud
karena ingin mendapat ridha
dari Allah. Hal ini merupakan
persentasi yang terkecil dari
dua alasan lainnya karena
mengingat sifat manusia
memang seperti itu yaitu
dekat dengan Allah ketika
sedang dirundung masalah
dan ketika masalah itu sudah
terselesaikan manusia menjadi
malas kembali untuk
bertahajjud.
2. Tabel alasan orang tidak
melakukan ibadah shalat
tahajjud
TABEL
GRAFIK
Dari grafik di atas dapat
dilihat bahwa sebagian besar
alasan tidak bertahajjud
adalah karena malas/ngantuk.
Sedangkan sisanya karena
tahajjud hukumnya sunnah …..
% dank arena sedang tidak
ada masalah ….%. dalam hal
ini alasan sedang tidak ada
masalah maksudnya adalah
untuk para pelajar/mahasiswa
sebab sedang tidak ada ujian,
tidak dalam keadaan sedih/
bimbang sedangkan bagi para
kepala/ibu rumah tangga
karena sedang tidak punya
hutang, tidak dalam keadaan
sedih/bimbang.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di
BAB IV, maka dapat penulis
simpulkan bahwa sebagian
besar orang bertahajjud
karena sedang sedih/banyak
masalah dalam hidupnya, hal
ini sangat manusiawi
mengingat sifat manusia
memang seperti itu yaitu
dekat dengan Allah ketika
dirundung masalah dan ketika
masalah itu sudah berakhir
manusia menjadi malas
kembali untuk bertahajjud dan
bahkan lupa dengan
pertolongan Allah
terhadapnya. Dan alasan
lainnya seperti karena sedang
ujian ….% dan karena semata-
mata ingin mendapatkan ridha
Allah ….%.
Dan alasan paling banyak
tidak bertahajjud adalah
karena malas atau ngantuk
dengan persentasi…% dari dua
alasan yang lainnya.Hal ini
sangat mungkin terjadi karena
shalat tahajjud dilaksanakan
pada tengah malam, diwaktu
orang sedang tidur sehingga
banyak orang yang malas
untuk bangun dari tidurnya
dan melakukan shalat
tahajjud.
2. Saran
Jika manusia hanya menuruti
hawa nafsu maka tentunya
ibadah sunnah shalat tahajjud
akan semakin jarang
dilakukan. Dan jika manusia
bertahajjud hanya karena
sedang dirundung masalah
dan membutuhkan
pertolongan Allah SWT, hal ini
sangatlah tidak adil bagi Allah
seolah-olah menimbulkan
kesan habis manis sepah
dibuang, setelah diberikan
pertolongan Allah manusia
menjadi lupa bahkan tidak
bersyukur karena
pertolongan-Nya.
Setelah mencoba menarik
kesimpulan dari data-data
yang ada, penulis ingin
memberikan saran-saran
sebagai berikut:
1. Janganlah malas bangun dari
tidur untuk bertahajjud pada
malam hari karena
sesungguhnya shalat pada
malam hari memberikan
kekhusuan dalam ibadah dan
sesungguhnya orang yang
bangun dari tidur dengan
niatnya saja bertahajjud sudah
mendapatkan pahala dari
Allah.
2. Bertahajjudlah baik dalam
keadaan senang atau sedih.
3. Rajinlah bertahajjud karena
banyak keutamaannya/
hidayahnya.
4. Janganlah memandang shalat
tahajjud itu sunnah hukumnya
karena dengan hal itu orang
akan malas bertahajjud.

Senin, 29 Juni 2009

MAKALAH FIQIH TENTANGRIBA DAN PERBANKAN

A. RIBA
1. Arti Riba
Riba menurut etimologi
adalah kelebihan atau
tambahan, menutur etimologi,
riba artinya kelebihan
pembayaran tanpa ganti rugi
atau imbalan, yang
disyaratkan bagis salah
seorang dari dua orang yang
melakukan transaksi
Misalnya, Si A memberi
pinjaman kepada si B dengan
syarat si B harus
mengembalikan uang pokok
pinjaman dan sekian persen
tambahnya
2. Dasar Hukum Keharaman
Riba
Sebagai dasar riba dapat
diperhatikan Firman Allah
SWT, sebagai berikut;
َلَحَاَو ُهللا َعْيَبلْا َّرَحَو َم
اوبِّرلا. )ةرقبلا:275 )
Artinya.
“Sesungguhnya Allah telah
menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba”. (Al-
Baqoroh / 2:275)
Riba hanyalah berlaku pada
benda – benda seperti emas,
perak, makanan dan uang.
Karena itu tidak
diperbolehkan menjual emas
dengan emas, perak dengan
perak, kecuali jika harganya
sebanding dan dilakukan
dengan kontan. Tidak
diperbolehkan menjual
sesuatu barang, dimana
barang tersebut belum berada
ditangannya (misal A membeli
barang tersebut kepada si B)
Tidak diperbolehkan pula
menjual daging dengan
binatang yang masih hidup.
Tidak diperbolehkan juga
menjual emas dengan ditukar
dengan perak yang harga
nilainya tidak sebanding.
Demikian pula menjual
makanan, tidak diperbolehkan
dijual dengan makanan
sejenis, kecuali jika sebanding
harganya. Tidak
diperbolehkan pula jual beli
barang sejenis daripadanya
dengan barang yang tidak
seimbang harganya. Tidak
diperbolehkan pula beli
barang yang belum menjadi
miliknya, misalnya menjual
burung yang bebas terbang di
udara dan lain – lain
Pada ayat ini juga
disebutkaan:
َنْيِذَّلااَهُّيآَي ْوُنَمآ ْأَتَالا
ِّرلاوُلُك اًفاَعْضااوب
ْوُقَّتاَّوًةَفَعَضُّم َهللا
ْمُكَّلَعَل َنوُحِلْفُت )لا
نارمع:13 )
Artinya :
“Hai orang – orang yang
beriman, janganlah kamu
memakan riba dengan
berlipat ganda dan
bertaqwalah kamu kepada
Allah supaya kamu
mendapatkan
keberuntungan” (Ali imran/3 :
130)
Dalam sebuah hadits
dijelaskan konsekuensi
kaharaman itu, terdapat
sanski sebagaimana sabda
Rasulullah SAW.
َنَعَل ُلْوُسَر ِهللا َىّلَص
ُهللا ِهْيَلَع َمَلَسَو َلِكآ
اَبِّرلا َوُمَر ُهَلِك ُهَبِتاَكَو
ِهْيَدِهاَشَو َلَقَو ْمُه ٌءاَوَس
) هاور ملسم نع رباج )
Artinya :
“Dari Jabir, Rasulullah SAW.
Melaknat yang memakan riba,
yang mewakilinya, penulisnya
dan kedua saksinya dan Rasul
berkata, mereka semua
berdosa.” (Riwayat Muslim
dari Jabir)
Setiap orang Islam dan
mukalaf sebelum terlibat
dalam satu urusan, terlebih
dahulu wajib mengetahui apa
– apa yang dihalalkan dan
diharamkan Allah.
Sesungguhnya Allah telah
membebani kita dengan tugas
– tugas mengabdi. Oleh
karena itu,, mau tidak mau
harus memelihara apa yang
ditugaskan kepada kita. Allah
telah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba
Allah telah mengayidi kata
jual beli dengan alat
memakrifatkan, yakni ْلَا dan
ُعْيَبْلَا
Jual beli ini diikat oleh
beberapa ikatan – ikatan,
syarat, dan rukun yang harus
dipelihara semua.
Jadi orang yang hendak jual
beli wajib mengetahui hal –
hal tersebut. Jika tidak, jelas
akan makan riba, mau tidak
mau
Rasulullah telah bersabda.
“Pedagang yang jujur, besok
pada hari kiamat digiring
bersama dengan orang –
orang yang jujur dan orang –
orang yang mati sahid”.
Semua itu tidak lain kecuali
karena sesuatu yang dia
lakukan yaitu berperang
melawan hawa nafsu dan
keinginan (yang
menyeleweng) serta memaksa
nafsunya untuk menjalankan
akad sesuai dengan apa yang
diperintahkan Allah. Jika
tidak, maka tak samar lagi
pasti mendapat apa yang akan
diancamkan Allah kepada
orang yang melanggar batas –
batas
Kemudian sesungguhnya
semua akad, seperti akad
ijarah (persewaaan), qirad
(andil berdagang), rohn
(gode), wakalah, wadiah,
ariah, sirkah, musaqah, dan
sebagainya, wajib dijaga
syarat – syarat dan rukun –
rukunnya
Akad nikah (malah)
membutuhkan kehati – hatian
dan ketelitian untuk
menghindari kejadian yang
ada kaitannya dengan
ketidaksempurnaan syarat
dan rukun (jika tidak sah
nikahnya lantas istri
disetubuhi, maka berarti
berzinah)
3. Macam – Macam Riba
Menurut para ulama, riba ada
empat macam
a. Riba Fadli, yaitu riba
dengan sebab tukar menukar
benda, barang sejenis (sama)
dengan tidak sama ukuran
jumlahnya. Misalnya satu ekor
kambing ditukar dengan satu
ekor kambing yang berbeda
besarnya satu gram emas
ditukar dengan seperempat
gram emas dengan kadar
yang sama. Sabda Rasul SAW
ْنَع ىِبآ ٍدْيِعَس ن ِّيِرْدُجْلا
َّنَا َلْوُسَر ِهللا ىَّلَص
ُهللا ِهْيَلَع َمَّلَسَو َلاَق:
َال ِبَهَّذلااْوُعْيِبَت َّالِا
ًالْثِم ٍلْثِمِب َالَو
اْوُّفِشُت اَهَضْعَب ىَلَع
ٍضْعَب َقِرَوْلااوُعِبَتَالَو
ِقِرَوْلاِب َّالِا ًالْثِم
ٍلْثِمِب َالَو
ىَلَعاَهَضْعَباْوُقِشُت
ٍضْعَب
ٍزِجاَنِباًبِئاَغاَهْنِماْوُعِبَتَالَو
) قفتم هيلع )
Artinya:
“ Dari Abi Said Al Khudry,
sesungguhnya Rasulullah
SAW. Telah bersabda,
“Janganlah kamu jual emas
dengan emas kecuali dalam
timbangan yang sama dan
janganlah kamu tambah
sebagian atas sebagiannya
dan janganlah kamu jual uang
kertas dengan uang kertas
kecuali dalam nilai yang
sama, dan jangan kamu
tambah sebagian atas
sebagiannya, dan janganlah
kamu jual barang yang nyata
(riil) dengan yang abstrak
(ghaib).” (riwayat Bukhari dan
muslim)
Riba Fadli atau riba
tersembunyi ini dilarang
karena dapat membawa
kepada riba nasi’ah (riba jail)
artinya riba yang nyata
b. Riba Qardhi, yaitu riba yang
terjadi karena adanya proses
utang piutang atau pinjam
meminjam dengan syarat
keuntungan (bunga) dari
orang yang meminjam atau
yang berhutang. Misalnya,
seseorang meminjam uang
sebesar sebesar Rp.
1.000.000,- (satu juta)
kemudian diharuskan
membayarnya Rp. 1.300.000,-
(satu juta Tiga ratus ribu
rupiah)
Terhadap bentuk transsaksi
seperti ini dapat dikategorikan
menjadi riba, seperti sabda
Rasulullah Saw.:
ُّلُك ٍضْرَق َّرَج ًةَعَفْنَم
اًبِرَوُهَف )هاور ىقهيبلا )
Artinya
“Semua piutang yang menarik
keuntungan termasuk
riba.” (Riwayat Baihaqi)
c. Riba Nasi’ah, ialah
tambahan yang disyaratkan
oleh orang yang mengutangi
dari orang yang berutang
sebagai imbalan atas
penangguhan (penundaan)
pembayaran utangnya.
Misalnya si A meminjam uang
Rp. 1.000.000,- kepada si B
dengan perjanjian waktu
mengembalikannya satu
bulan, setelah jatuh tempo si
A belum dapat
mengembalikan utangnya.
Untuk itu, si A menyanggupi
memberi tambahan
pembayaran jika si B mau
menunda jangka waktunya.
Contoh lain, si B menawarkan
kepada si A untuk membayar
utangnya sekarang atau minta
ditunda dengan memberikan
tambahan. Mengenai hal ini
Rasulullah SAW. Menegaskan
bahwa:
ْنَع ِةَرَمَس ِنْب ٍبُدْنُج َّنَا
َّيِبَّنلا ُهللاىَّلَص ِهْيَلَع
َمَّلَسَو ىهَن ْنَع ِعْيَب
ِناَوَيَحَلا ِناَوَيَحْلاِب
ًةَئْيِسَن )هاور ةسمخلا هححصو
ىدمرتلا نباو هوراجلا )
Artinya:
Dari Samrah bin Jundub,
sesungguhnya Nabi
Muhammad saw. Telah
melarang jual beli hewan
dengan hewan dengan
bertenggang waktu.” (Riwayat
Imam Lima dan dishahihkan
oleh Turmudzi dan Ibnu Jarud)
d. Riba Yad, yaitu riba dengan
berpisah dari tempat akad jual
beli sebelum serah terima
antara penjual dan pembeli.
Misalnya, seseorang membeli
satu kuintal beras. Setelah
dibayar, sipenjual langsung
pergi sedangkan berasnya
dalam karung belum
ditimbang apakah cukup atau
tidak. Jual beli ini belum jelas
yang sebenarnya. Sabda
Rasulullah SAW.
َّذلا ُبَه ٍبَهَّذلاِب
ُةَّضِفلْْاَو
ُّرُبْلاَوِةَّضِفْلاِب
ِّرُبْلاِب
ِرْيِعَّشلاِبُرْيِعَّشلاَو
ِرْمَّتلاِبُرْمَّتلاَو ُحْلِمْلاَو
ِحْلِمْلاِب ًالْثِم ٍلْثِمِب
ٍءاَوَسِبًءاَوَس
ْتَفَلَتْجَااَذِاَفٍدَيِباًدَي
ِهِذَه ُفاَنْصَالْا ْوُعِبَف
َفْيَكا ْمُتْئِش َناَكاَذِا اًدَي
ٍدَيِب )هاور ملسم )
Artinya:
“Emas dengan emas, perak
dengan perak, beras dengan
beras, gandum dengan
gandum, kurma dengan
kurma, garam dengan garam,
hendaknya serupa dan sama
banyaknya, tunai dengan
tunai, apabila berlainan
jenisnya boleh kamu menjual
sekehendamu asal tunai”.
(Riwayat Muslim)
4. Sebab – Sebab
Diharamkannya Riba
Allah SWT melarang riba
antara lain karena perbuatan
tersebut dapat merusak dan
membahayakan diri sendiri
dan merugikan serta
menyengsarakan orang lain
a. Merusak Dan Membayakan
Diri Sendiri
Orang yang melakukan riba
akan selalu menghitung –
hitung yang banyak yang akan
diperoleh dari orang yang
meminjam uang kepadanya.
Pikiran dan angan – angan
yang demikian itu akan
mengakibatkan dirinya selalu
was – was dan khawatir uang
yang telah dipinjamkan itu
tidak dapat kembali tepat
pada waktunya dengan bunga
yang besar.
Jika orang yang melakukan
riba itu memperoleh
keuntungan yang berlipat
ganda, hasilnya itu tidak akan
memberi manfaat pada
dirinya karena hartanya itu
tidak akan memberi manfaat
pada dirinya karena hartanya
itu tidak mendapat berkah
dari Allah SWT.
b. Merugikan Dan
Menyengsarakan Orang Lain
Orang yang meminjam uang
kepada orang lain pada
umumnya karena sedang
susah atau terdesak. Karena
tidak ada jalan lain, meskipun
dengan persyaratan bunga
yang besar, ia tetap bersedia
menerima pinjaman tersebut,
walau dirasa sangat berat.
Orang yang meminjam ada
kalanya bisa mengembalikan
pinjaman tepat pada
waktunya, tetapi adakalanya
tidak dapat mengembalikan
pinjaman tepat pada waktu
yang telah ditetapkan. Karena
beratnya bunga pinjaman, si
peminjam susah untuk
mengembalikan utang
tersebut. Hal ini akan
menambah kesulitan dan
kesengsaraan bagi
kehidupannya.
Haram menjual barang yang
belum diterima (oleh si
penjual). menjual hewan
dengan daging juga haram,
hutang ditukar dengan hutang
juga haram, begitupula
dengan fuduly (si penjual
bukan pemilik barangnya dan
bukan sebagai wakil), menjual
barang yang tidak dapat
dilihat atau jual belinya orang
yang tidak mukalaf, menjual
barang yang tidak ada
manfaatnya, menjual barang
yang tidak bisa diserahkan,
tanpa ijab qobul, menjual
barang yang tidak di bawah
hak milik seperti tanah mati
atau orang merdeka, menjual
barang yang samar atau najis,
seperti anjing dan menjual
barang yang memabukan atau
yang diharamkan, semua
adalah haram
Haram menjual sesuatu yang
halal dan suci kepada orang
yang diketahui bahwa sesuatu
itu akan digunakan untuk
bermaksiat
Haram menjual barang yang
dapat memabukan dan
menjual barang yang cacat
tanpa diberitahukan cacatnya
Harta peninggalan mayit tidak
sah dibagi – bagikan atau
dijual sekalipun hanya sedikit,
seperenam dirham misalnya,
selagi hutang – hutang simayit
belum dilunasi, dan wasiat –
wasiatnya harus dipenuhi. Jika
belum naik haji, padahal
sudah berkewajiban maka
harus dipungutlah dulu ongkos
untuk haji dan umrah sebelum
diwaris, kecuali (boleh dijual)
untuk memenuhi hal – hal
diatas (untuk hutang –
hutang / untuk haji/umrah)
Jadi harta peninggalan mayit
seperti digadaikan pada hal –
hal di atas. Sebagaimana
budak yang melukai, juga
tidak boleh dijual sebelum
dipenuhi hak yang berurusan
dengan dirinya, kecuali jika
yang memberi hutang (pada
sayidnya) telah mengijinkan
untuk menjual budak itu.
Haram melakukan
(mempengaruhi) minat
pembeli dengan maksud agar
tidak membeli, kemudian
disuruh membeli barang orang
yang memepengaruhi tadi.
Apabila sesudah barang
ditetapkan (sudah sama –
sama menyetujui antara
penjual dan pembeli). Juga
tidak boleh mempengaruhi
penjual dengan maksud agar
berpindah menjual kepadanya.
Apabila jika dilakukan ketika
masih hiyar, amat diharamkan
(seperti masih tawan
menawar)
Haram pula membeli barang
saat paceklik (harga pangan
mahal) dan orang yang sangat
membutuhkan bahan
makanan, dengan tujuan
untuk ditahan (disimpan) dan
akan dijual bila dengan harga
yang lebih mahal
Haram berpura – pura nawar
barang dengan harga mahal
tapi tidak bermaksud ingin
membeli tapi bermaksud
membujuk orang lain (agar
mau membeli dengan harga
mahal)
Haram memisahkan antara
budak perempuan dan
anaknya sebelum tamyiz,
semua itu haram. Demikian
pula menipu atau berkhianat
dalam urusan timbangan
takaran, meteran, htungan
dan atau berdusta
Haram menjual kapuk atau
lainnya dari barang – barang
dagangan kepada pembeli,
tetapi disamping menjual juga
memberi hutangnya kepada si
pembeli beberapa dirham.
Kemudian harga barang lebih
mahal, hal ini dilakukan oleh
si penjual karena demi
hutangnya tersebut
Demikian juga umpamanya,
memberi hutang kepada
pembuat tenun (atau penjahit)
atau lainnya dari pekerjaan
buruh, tapi sebelum diberi
hutangnya, terlebih dahulu
para peminta hutang itu
disuruh dengan upah yang
terlalu sedikit, demi hutang
tersebut. Hal ini disebut
dengan istilah rubtah, ini juga
amat haram.
Haram memberi hutangan
kepada para petani yang
bayarnya secara tempo
sampai saat panen, tapi
dengan janji supaya hasil
panen mereka dijual kepada si
pemberi utangan tersebut
dengan harga dibawah harga
umum. Hal ini disebut dengan
muqda
B. PERBANKAN
Undang – undang Nomor 14
tahun 1957 tentang Pokok
Pokok PerBankan menjelaskan
bahwa Bank adalah lembaga
keuangan yang usaha
pokoknya memeberikan kredit
dan jasa dalam lalu lintas
pembayaran dan peredaran
uang. Bank itu ada yang milik
negara dan ada yang milik
swasta
1. Fungsi Bank
Fungsi Bank secara umum
sangat penting bagi
kelangsungan perekonomian
masyarakat, bangsa dan
negara. Secara khusus fungsi
Bank antara lain:
a. Sebagai sentral penyediaan
dan peredaran uang,
pengendalian inflasi, dan
jumlah peredarannya
b. Sebagai pengawasan
peredaran uang, pengendalian
inflasi dan jumlah
peredarannya
c. Tempat penyimpanan uang
dan barang berharga yang
aman bagi masyarakat dan
negara
d. Tempat tukat menukar
mata uang
e. Tempat menerima
pembayaran uang
f. Khusus Bank Islam, selain
berfungsi sebagimana di atas,
juga dapat menghilangkan
sistem bunga sehingga dapat
merangsang masyarakat
untuk berani menyimpan atau
meminjam modal untuk usaha.
Pada perkembangannya, Bank
– Bank konvensional juga
telah membuka Bank Syari’ah,
seperti Bank Syari’ah mandiri
dan Bank BNI Syari’ah
2. Pendapat Ulama Tentang
Hukum PerBankan
Pendapat para ulama Islam
mengenai hukum Bank dapat
dikelompokan menjadi tiga
pendapat, yaitu mubah,
haram, dan syubhat
a. Bank hukumnya mubah.
Alasannya bahwa disuatu
negara, keberadaan Bank
sangat dibutuhkan dan tidak
bisa ditiadakan. Bank
bermanfaat dalam kehidupan
dan kemaslahatan
masyarakat, bangsa, dan
negara. Bunga Bank berbeda
dengan riba, bunga Bank
diperoleh dari usaha
produktif, sedangkan riba
diperoleh dari pemerasan dan
akibat keterpaksaan orang –
orang yang lemah. Ulama
yang membolehkan ini
didasarkan kepada sabda
Rasulullah SAW. :
ْنَع ُهللاَيِضَرٍرَباَج ُهْنَع
َلاَق: ُتْيَتَا َّيِبَّنلا
ىَّلَص ُهللا ِهيَلَع َمَّلَسَو
َناَكَو ْيِل ِهْيَلَع ٌنْيَد
ْيِئاَضَقَف ْيِنَداَزَو )هاور
ىراخبلا ملسمو )
Artinya ;
“Dari Jabir r.a. ia telah
berkata:” aku pernah datang
kepada Nabi SAW. Dan beliau
mempunyai utang kepadaku,
kemudian beliau membayar
utangnya dan memberi
tambahan.” (Riwayat Bukhari
dan Muslim)
b. Bank hukumnya haram.
Alasannya bahwa setiap
transaksi Bank akan terdapat
unsur bunga. Bunga itu sama
dengan riba dan riba
hukumnya harap. Maka Bank
dianggap haram
c. Bank hukumnya syubhat
atau masih ragu tentang
haram atau tidak. Alasannya
bahwa pada satu sisi Bank ini
sangat dibutuhkan bagi
kehidupan perekonomian
masyarakat, bangsa, dan
negara. Di sisi lain, setiap
Bank akan ada bunganya,
yang berarti riba, sehingga
Bank itu belum jelas halal dan
haramnya

Sabtu, 27 Juni 2009

MAKALAH FIQIH TENTANGPENGERTIAN SHOLAT

SHOLAT
I. Pendahuluan
Shalat merupakan salah satu
kewajiban bagi kaum muslimin
yang sudah mukallaf dan
harus dikerjakan baik bagi
mukimin maupun dalam
perjalanan.
Shalat merupakan rukun Islam
kedua setelah syahadat. Islam
didirikan atas lima sendi
(tiang) salah satunya adalah
shalat, sehingga barang siapa
mendirikan shalat ,maka ia
mendirikan agama (Islam),
dan barang siapa
meninggalkan shalat,maka ia
meruntuhkan agama (Islam).
Shalat harus didirikan dalam
satu hari satu malam
sebanyak lima kali, berjumlah
17 rakaat. Shalat tersebut
merupakan wajib yang harus
dilaksanakan tanpa kecuali
bagi muslim mukallaf baik
sedang sehat maupun sakit.
Selain shalat wajib ada juga
shalat – shalat sunah.
Untuk membatasi bahasan
penulisan dalam
permasalahan ini, maka
penulis hanya membahas
tentang shalat wajib kaitannya
dengan kehidupan sehari –
hari.
I. Pengertian Shalat
Secara etimologi shalat
berarti do’a dan secara
terminology
/ istilah, para ahli fiqih
mengartikan secara lahir dan
hakiki. Secara lahiriah shalat
berarti beberapa ucapan dan
perbuatan yang dimulai
dengan takbir dan diakhiri
dengan salam, yang
dengannya kita beribadah
kepada Allah menurut syarat
– syarat yang telah ditentukan
(Sidi Gazalba,88)
Adapun secara hakikinya ialah
“berhadapan hati (jiwa)
kepada Allah, secara yang
mendatangkan takut kepada-
Nya serta menumbuhkan di
dalam jiwa rasa kebesarannya
dan kesempurnaan
kekuasaan-Nya” atau
“mendahirkan hajat dan
keperluan kita kepada Allah
yang kita sembah dengan
perkataan dan pekerjaan atau
dengan kedua –
duanya” (Hasbi Asy-Syidiqi, 59)
Dalam pengertian lain shalat
ialah salah satu sarana
komunikasi antara hamba
dengan Tuhannya sebagai
bentuk, ibadah yang di
dalamnya merupakan amalan
yang tersusun dari beberapa
perkataan dan perbuatan
yang dimulai dengan
takbiratul ikhram dan diakhiri
dengan salam, serta sesuai
dengan syarat dan rukun yang
telah ditentukan syara’ (Imam
Bashari Assayuthi, 30)
Dari beberapa pengertian di
atas dapat disimpulkan bahwa
shalat adalah merupakan
ibadah kepada Tuhan, berupa
perkataan denga perbuatan
yang diawali dengan takbir
dan diakhiri dengan salam
menurut syarat dan rukun
yang telah ditentukan syara”.
Juga shalat merupakan
penyerahan diri (lahir dan
bathin) kepada Allah dalam
rangka ibadah dan memohon
ridho-Nya.
II. Sejarah Dan Dalil Tentang
Kewajiban Shalat
a. Sejarah Tentang Diwajibkan
Shalat
Perintah tentang
diwajibkannya mendirikan
shalat tidak seperti Allah
mewajibkan zakat dan lainnya.
Perintah mendirikan shalat
yaitu melalui suatu proses
yang luar biasa yang
dilaksanakan oleh Rasulullah
SAW yaitu melalui Isra dan
Mi’raj, dimana proses ini tidak
dapat dipahami hanya secara
akal melainkan harus secara
keimanan sehingga dalam
sejarah digambarkan
setelahnya Nabi
melaksanakan Isra dan Mi’raj,
umat Islam ketika itu terbagi
tiga golongan yaitu, yang
secara terang – terangan
menolak kebenarannya itu,
yang setengah – tengahnya
dan yang yakin sekali
kebenarannya.
Dilihat dari prosesnya yang
luar biasa maka shalat
merupakan kewajiban yang
utama, yaitu mengerjakan
shalat dapat menentukan
amal – amal yang lainnya, dan
mendirikan sholat berarti
mendirikan agama dan banyak
lagi yang lainnya
b. Dalil – Dalil Tentang
Kewajiban Shalat
Al-Baqarah, 43
ْوُمْيِقَاَو َةىَلَّصلا ْوُتآَو
َعَماْوُعَكْراَوَةوَكَّزلا
َنْيِعِكاَّرلا
Artinya: Dan dirikanlah shalat,
tunaikanlah zakat dan rukulah
beserta orang – orang yang
ruku
Al-Baqarah 110
ْوُمْيِقَاَو َةْوَلَّصلا
َةوَكَّزلاْوُتآَو اْوُمِّدَقُتاَمَو
ْمُكِسُفْنَِال ْنِّم ٍرْيَخ
ُهْوُدِجَت طِهللاُدْنِع َّنِا َهللا
اَمِب َنْوُلَمْعَت ٌرْيِصَب
Artinya : Dan dirikanlah shalat
dan tunaikanlah zakat dan apa
– apa yang kamu usahakan
dari kebaikan bagi dirimu,
tentu kamu akan dapat
pahalanya pada sisi Allah
sesungguhnya Allah maha
melihat apa – apa yang kamu
kerjakan
Al –Ankabut : 45
ِمْيِقَاَو َةوَلَّصلا َّنِا
َةوَلَّصلا ىَهْنَت ِنَع
ِءاَشْحَفْلا َرَكْنُمْلاَو
Artinya: Kerjakanlah shalat
sesungguhnya shalat itu bisa
mencegah perbuatan keji dan
munkar.
An-Nuur: 56
ْوُمْيِقَاَو َةَالَّصلا ْوُتآَو
َةوَكَّزلا ْوُعْيِطَاَو
َلْوُسَّرلاا ْمُكَلَعَل
َنْوُمَحْرُت
Artinya : Dan kerjakanlah
shalat, berikanlah zakat, dan
taat kepada Rasul, agar
supaya kalian semua diberi
rahmat
Dari dalil – dalil Al-Qur'an di
atas tidak ada kata – kata
perintah shalat dengan
perkataan “laksanakanlah”
tetapi semuanya dengan
perkataan “dirikanlah”.
Dari unsur kata – kata
melaksanakan itu tidak
mengandung unsur batiniah
sehingga banyak mereka yang
Islam dan melaksanakan
shalat tetapi mereka masih
berbuat keji dan munkar.
Sementara kata mendirikan
selain mengandung unsur lahir
juga mengandung unsur
batiniah sehingga apabila
shalat telah mereka dirikan,
maka mereka tidak akan
berbuat jahat
III. Batas Waktu Shalat Fardlu
1. Shalat Dzuhur
Waktunya: ketika matahari
mulai condong ke arah Barat
hingga bayangan suatu benda
menjadi sama panjangnya
dengan benda tersebut kira –
kira pukul 12.00 – 15.00 siang
2. Shalat Ashar
Waktunya: sejak habisnya
waktu dhuhur hingga
terbenamnya matahari. Kira –
kira – kira pukul 15.00 –18.00
sore
3. Shalat Magrib
Waktunya: sejak terbenamnya
matahari di ufuk barat hingga
hilangnya mega merah di
langit. Kira – kira pukul 18.00
– 19.00 sore
4. Shalat Is’ya
Waktunya: sejak hilangnya
mega merah di langit hingga
terbit fajar. Kira – kira pukul
19.00 – 04.30 malam
5. Shlat Shubuh
Waktunya : sejak terbitnya
fajar (shodiq) hingga terbit
matahari. Kira – kira pukul
04.00 – 5.30 pagi
IV. Beberapa Pelajaran Dan
Kewajiban Shalat
a. Shalat Merupakan Syarat
Menjadi Takwa
Taqwa merupakan hal yang
penting dalam Islam karena
dapat menentukan amal /
tingkah laku manusia, orang –
orang yang betul – betul
taqwa tidak mungkin
melaksanakan perbuatan keji
dan munkar, dan sebaliknya
Salah satu persyaratan orang
– orang yang betul betul
taqwa ialah diantaranya
mendirikan shalat sebagimana
firman Allah SWT dalam surat
Al Baqarah
b. Shalat Merupakan Benteng
Kemaksiatan
Shalat merupakan benteng
kemaksiatan artinya bahwa
shalat dapat mencegah
perbuatan keji dan munkar.
Semakin baik mutu shalat
seseorang maka semakin
efektiflah benteng
kemampuan untuk
memelihara dirinya dari
perbuatan makasiat
Shalat dapat mencegah
perbuatan keji dan munkar
apabila dilaksanakan dengan
khusu tidak akan ditemukan
mereka yang melakukan
shalat dengan khusu berbuat
zina. Maksiat, merampok dan
sebagainya. Merampok dan
sebagainya tetapi sebaliknya
kalau ada yang melakukan
shalat tetapi tetap berbuat
maksiat, tentu kekhusuan
shalatnya perlu
dipertanyakan. Hal ini
diterangkan dalam Al-Qur'an
surat Al-Ankabut: 45
c. Shalat Mendidik Perbuatan
Baik Dan Jujur
Dengan mendirikan shalat,
maka banyak hal yang
didapat, shalat akan mendidik
perbuatan baik apabila
dilaksanakan dengan khusus.
Banyak yang celaka bagi
orang – orang yang shalat
yaitu mereka yang lalai shalat
selain mendidik perbuatan
baik juga dapat mendidik
perbuatan jujur dan tertib.
Mereka yang mendirikan tidak
mungkin meninggalkan syarat
dan rukunnya, karena apabila
salah satu syarat dan
rukunnya tidak dipenuhi maka
shlatnya tidak sah (batal)
d. Shalat Akan membangun
etos kerja
Sebagaimana keterangan –
keterangan di atas bahwa
pada intinya shalat
merupakan penentu apakah
orang – orang itu baik atau
buruk, baik dalam perbuatan
sehari – hari maupun ditempat
mereka bekerja
Apabila mendirikan shalat
dengan khusu maka hal ini
akan mempengaruhi terhadap
etos kerja mereka tidak akan
melakukan korupsi atau tidak
jujur dalam melaksanakan
tugas
KESIMPULAN
1. Shalat merupakan
penyerahan diri secara
talalitas untuk menghadap
Tuhan, dengan perkataan dan
perbuatan menurut syarat dan
rukun yang telah ditentukan
syara
2. Shalat merupakan
kewajiban bagi kaum muslimin
yang mukallaf tanpa kecuali
3. Hikmah mendidirkan shalat
yaitu:
a. Shalat mencegah perbuatan
keji dan munkar
b. Shalat mendidik perbuatan
baik dan jujur
c. Shalat akan membangun
etos kerja
DAFTAR PUSTAKA
1. Al-Qur'an dan terjemahnya
2. Drs. Sidi Gazalba
Asas Agama Islam, Bulan
Bintang, Jakarta, 1975
3. Hasbi Asy Syidiqi, Pedoman
Shalat, Bulan Bintang, 1976
4. Imam Basori Assuyuti
Bimbingan Shalat Lengkap,
Mitra Umat, 1998
5. Mimbar Ulama, Edisi
September 2004

Selasa, 23 Juni 2009

MAKALAH FIQIH TENTANGMUZARA'AH DANMUKHABAROH

I. PENDAHULUAN
Apabila kita perhatikan
kehidupan masyarakat
Indonesia yang agraris.
Praktik pemberian imbalan
atAs jasa seseorang yang
telah menggarap tanah orang
lain masih banyak
dilaksanakan pemberian
imbalan ada yang cenderung
pada praktek muzara’ah dan
ada yang cenderung pada
praktik mukhabarah. Hal
tersebut banyak dilaksanakan
oleh para petani yang tidak
memiliki lahan pertanian
hanya sebagai petani
penggarap.
Muzara’ah dan mukhabarah
ada Hadits yang melarang
seperti yang diriwayatkan oleh
(H.R Bukhari) dan ada yang
membolehkan seperti yang
diriwayatkan oleh (H.R
Muslim).
Berdasarkan pada dua Hadits
tersebut mudah – mudahan
kedua belah pihak tidak ada
yang dirugikan oleh salah satu
pihak, baik itu pemilik tanah
maupun penggarap tanah
II. MUZARA’AH DAN
MUKHABARAH
A. Pengertian Muzara’ah dan
Mukhabarah
Muzara’ah ialah mengerjakan
tanah (orang lain) seperti
sawah atau ladang dengan
imbalan sebagian hasilnya
(seperdua, sepertiga atau
seperempat). Sedangkan biaya
pengerjaan dan benihnya
ditanggung pemilik tanah
Mukhabarah ialah
mengerjakan tanah (orang
lain) seperti sawah atau
ladang dengan imbalan
sebagian hasilnya (seperdua,
sepertiga atau seperempat).
Sedangkan biaya pengerjaan
dan benihnya ditanggung
orang yang mengerjakan.
Munculnya pengertian
muzara’ah dan mukhabarah
dengan ta’rif yang berbeda
tersebut karena adanya ulama
yang membedakan antara arti
muzara’ah dan mukhabarah,
yaitu Imam Rafi’I berdasar
dhahir nash Imam Syafi’i.
Sedangkan ulama yang
menyamakan ta’rif muzara’ah
dan mukhabarah diantaranya
Nawawi, Qadhi Abu Thayyib,
Imam Jauhari, Al Bandaniji.
Mengartikan sama dengan
memberi ketetntuan: usaha
mengerjakan tanah (orang
lain) yang hasilnya dibagi.
B. Dasar Hukum Muzara’ah
Dan Mukhabaroh
ْنَع ِعِفاَر ِنْب ِجْيِدَخ َلاَق
ِراَصْنَالْاَرَثْكَااَّنُك
ًالْقَح اَّنُكَف
َضْرَالْاىِرْكُن ىَلَع َّنَا
اَنَل ِهِذَه اَمَبُرَف ْتَجَرْخَأ
ِهِذَه ْمَلَو ْجِرْخُت ِهِذَه
ْنَعاَناَهَنَف َكِلَذ
Artinya :
Berkata Rafi’ bin Khadij:
“Diantara Anshar yang paling
banyak mempunyai tanah
adalah kami, maka kami
persewakan, sebagian tanah
untuk kami dan sebagian
tanah untuk mereka yang
mengerjakannya, kadang
sebagian tanah itu berhasil
baik dan yang lain tidak
berhasil, maka oleh
karenanya Raulullah SAW.
Melarang paroan dengan cara
demikian (H.R. Bukhari)
ْنَع ِنْبِا َّنَاَرَمُع ِّيِبَّنلا
ىَّلَص ُهللا ِهْيَلَع َمَّلَسَو
َلَماَع َلْهَأ َرَبْيَخ ِطْرَشِب
ُجُرْخَياَم اَهْنِم ْنِم ٍرَمَث
ٍعْرَزْوَا )هاور ملسم )
Artinya:
Dari Ibnu Umar: “Sesungguhna
Nabi SAW. Telah memberikan
kebun kepada penduduk
khaibar agar dipelihara oleh
mereka dengan perjanjian
mereka akan diberi sebagian
dari penghasilan, baik dari
buah – buahan maupun dari
hasil pertahun (palawija)
” (H.R Muslim)
C. Pandangan Ulama
Terhadap Hukum Muzara’ah
Dan Mukhabarah
Dua Hadits di atas yang
dijadikan pijakan ulama untuk
menuaikan kebolehan dan
katidakbolehan melakukan
muzara’ah dan mukhabarah.
Setengah ulama melarang
paroan tanah ataupun ladang
beralasan pada Hadits yang
diriwayatkan oleh bukhari
tersebut di atas
Ulama yang lain berpendapat
tidak ada larangan untuk
melakukan muzara’ah
ataupun mukhabarah.
Pendapat ini dikuatkan oleh
Nawawi, Ibnu Mundzir, dan
Khatabbi, mereka mengambil
alsan Hadits Ibnu Umar yang
diriwayatkan oleh Imam
Muslim di atas
Adapun Hadits yang melarang
tadi maksudnya hanya apabila
ditentukan penghasilan dari
sebagian tanah, mesti
kepunyaan salah seorang
diantara mereka. Karena
memang kejadian di masa
dahulu, mereka memarohkan
tanah dengan syarat dia akan
mengambil penghasilan dari
sebagian tanah yang lebih
subur keadaan inilah yang
dilarang oleh Nabi
Muhammad SAW. Dalam
Hadits yang melarang itu,
karena pekerjaan demikian
bukanlah dengan cara adil
dan insaf. Juga pendapat ini
dikuatkan orang banyak.
D. Zakat Muzara’ah Dan
Mukhabarah
Zakat hasil paroan sawah atau
ladang ini diwajibkan atas
orang yang punya benih, jadi
pada muzara’ah, zakatnya
wajib atas petani yang
bekerja, karena pada
hakekatnya dialah yang
bertanam, yang punya tanah
seolah – olah mengambil sewa
tanahnya, sedangkan
penghasilan sewaan tidak
wajib dikeluarkan zakatnya
Sedangkan pada mukhabarah,
zakat diwajibkan atas yang
punya tanah karena pada
hakekatnya dialah yang
bertanam, petani hanya
mengambil upah bekerja.
Penghasilan yang didapat dari
upah tidak wajib dibayar
zakatnya. Kalau benih dari
keduanya, maka zakat wajib
atas keduanya, diambil dari
jumlah pendapatan sebelum
dibagi
III. KESIMPULAN
Mukhabarah ialah
mengerjakan tanah (orang
lain) seperti sawah atau
ladang dengan imbalan
sebagian hasilnya (seperdua,
sepertiga atau seperempat).
Sedangkan biaya pengerjaan
dan benihnya ditanggung
orang yang mengerjakan.
Dengan adanya praktek
mukahbarah sangat
menguntungkan kedua belah
pihak. Baik pihak pemilik
sawah atau ladang maupun
pihak penggarap tanah.
Pemilik tanah lahannya dapat
digarap, sedangkan petani
dapat meningkatkan tarap
hidupnya
DAFTAR PUSTAKA
H. Sulaeman Rasyid, Fiqih
Islam, PT. Sinar Baru
Algensindo, Bnandung, 1994
Drs. Suparta dkk. Materi
Pokok Fiqih I, Universitas
terbuka, 1992
DR. (He) Drs. H.S Sholahuddin,
Fiqhul Islam, Biro Penerbit
Jurusan Syariah STAIN
Cirebon, 2000

Senin, 22 Juni 2009

MAKALAH FIQIH TENTANGJABATAN HAKIM MENURUTPERSPEKTIF ISLAM

BAB I
PEMBAHASAN
A.Latar Belakang Masalah
Hakim adalah seseorang yang
melakukan kekuasaan
kehakiman yang diatur
menurut undang-undang,
seseorang yang memutus
suatu perkara secara adil
berdasar atas bukti-bukti dan
keyakinan yang ada pada
dirinya sendiri. Dalam
melakukan kekuasaan
kehakiman hakim dihadapkan
dengan berbagai hal yang
dapat mempengaruhi
putusannya nanti. Dengan
demikian jabatan hakim ini
menjadi sangat penting
karena memutus suatu
perkara bukanlah hal mudah.
Ia harus sangat berhati-hati
menjatuhkan hukuman kepada
yang bersalah sebab yang
bersalah kadang-kadang
dibenarkan. Sedang yang
benar terkadang disalahkan.
Seorang hakim menjadi sangat
rentan akan berbagai
penyimpangan akan berbagai
penyimpangan baik yang
dilakukan secara sengaja
misalnya memutus seseorang
yang bersalah kemudian
dibenarkan hanya karena
memberikan uang kepada
hakim tersebut ataupun yang
dilakukannya secara tidak
sengaja misalnya memutus
seseorang yang tidak bersalah
karena bukti-bukti yang
menunjukan demikian. Segala
sesuatunya akan
dipertanggung jawabkan
dihadapan Allah SWT. Oleh
sebab itu jabatan hakim
mendapat perhatian khusus,
antara lain dalam hukum
positif terlihat dengan adanya
undang-undang pokok
kehakiman yang secara
khusus mengatur tata cara
peradilan termasuk jabatan
hakim. Tak hanya dalam
hukum positif dalam hukum
Islam pun jabatan hakim
mendapat perhatian khusus
dengan ayat-ayat al-Qur’an
yang membahas tentang
jabatan hakim ini bahkan jauh
sebelum hukum positif
mengaturnya.
B.Identifikasi Masalah
Oleh karena mengingat
betapa pentingnya jabatan
hakim dalam pelaksanaan
peradilan maka dalam
makalah ini penulis membahas
dua masalah antara lain:
1.Bagaimana jabatan hakim
menurut perspektif Islam
2.Hal yang diwajibkan dan
diharamkan hakim
C.Kerangka Teori
1.Jabatan Hakim Menurut
Perspektif Islam
Dalam Islam orang yang
memutus perkara di
Pengadilan disebut
“qadhi” (hakim). Namun
terlebih dahulu penulis
menguraikan susunan
pengadilan menurut Islam,
Adapun susunan acara
pengadilan terdiri dari:
a.Ada hakim, berapa
banyaknya tergantung pada
keadaan dan undang-undang
b.Ada jaksa (penuntut umum)
dan adapula terdakwa, atau
yang disebut yang “menuduh”
dan yang “tertuduh”,
“penggugat” dan yang
“digugat”.
c.Ada keterangan bukti dan
saksi, yaitu alat yang dijadikan
Pedoman bagi hakim untuk
menjatuhkan hukuman atau
putusan terhadap perkara
yang sedang diselesaikan.
d.Melakukan sumpah/sumpah
mardud, baik yang tertuduh,
maupun saksi, boleh disumpah
lebih dahulu jika diperlukan.
Pada masa Rasulullah SAW
yang menjadi hakim dan jaksa
penuntut umum adalah
Rasulullah sendiri dan hukum
yang hendak dijatuhkan wajib
menurut hukum yang
diturunkan Allah SWT. Dalam
firman-Nya dalam surat An-
Nissa 105: “Sesungguhnya
kami telah menurunkan
kepada engkau Al-Kitab (Al-
Qur’an) dengan yang
sebenarnya, (berisi
kebenaran), supaya engkau
dapat mengadili antara
sesamamu manusia, menurut
apa yang dinyatakan Allah
kepada engkau” dalam ayat
lain Allah berfirman pula:
“dan barang siapa yang tidak
menghukum dengan hukuman
yang diturunkan Allah, maka
mereka itu oang-orang yang
kafir” oleh sebab itu,
seseorang yang telah diangkat
menjadi hakim hendahlah
sangat sangat berhati-hati
dalam menjatuhkan hukuman
kepada manusia yang
bersalah. Jika hal itu terjadi,
maka seorang hakim telah
melakukan kezaliman yang
harus dipertanggung jawabkan
dihadapan Allah SWT
dikemudian hari. Sebab
diantara hakim berbeda-beda
dalam menjatuhkan hukuman.
Ada yang memberikan
kebenaran tanpa
memperhatikan mana yang
salah dan mana yang benar.
Dan ada pula yang Sungguh-
sungguh mencari kebenaran
dalam suatu perkara.
Berdasarkan hal itu hakim
terdiri atas tiga bagian,
sebagimana yang dinyatakan
oleh Nabi sebagai berikut:
Sabda Rasullulah SAW.
“Dari Abu Hurairah dari
bapaknya r.a dari Nabi SAW
bersabda beliau: “hakim itu
ada tiga macam di dalam
syurga tempatnya, dan yang
dua macam itu di dalam
neraka. Adapun yang di dalam
surga tempatnya ialah hakim
yang mengerti akan yang
benar. Lalu ia menghukum
dengan yang benar itu. Dan
hakim yang akan kekuasaan,
lalu dilakukannya penindasan
dalam menjalankan hukum
(karena disuap dan
sebagainya), maka dia akan
masuk neraka, dan hakim
yang menghukum manusia
atas kejahilan (ketidaktahuan)
maka ia tidak akan masuk
neraka”. Dengan demikian
dapat disimpulkan menurut
Nabi hakim terdiri dari:
a.Hakim yang mengerti akan
kebenaran dan menghukum
dengan benar (masuk surga)
b.Hakim yang mengerti akan
kekuasaan namun melakukan
penindasan (masuk neraka)
c.Hakim yang menghukum
manusia karena
ketidaktahuan (masuk neraka)
.
Oleh karena itu jabatan hakim
adalah jabatan yang penuh
tanggungjawab yang sangat
besar. Sabda Rasulullah SAW:
Dari Abu Hurairah r.a dari
Nabi SAW bersabda beliau:
“Barang siapa yang dijadikan
hakim di antara manusia
maka Sungguh ia telah
disembelih dengan tidak
memakai pisau”. Oleh sebab
itu banyak ulama-ulama yang
sadar, tidak mau diangkat
menjadi hakim jika sekiranya
masih ada orang lain yang
patut. Misalnya Ibnu Umar
takut menjadi hakim ketika
diminta oleh Utsman bin
Affan, imam Abu Hanifah
tidak mau menjadi hakim
ketika diminta oleh khalifah
Al Mansyur, hingga ia
dipenjarakan oleh khalifah Al-
Makmun. Namun kiranya
perlu ditugaskan bahwa
menerima jabatan hakim itu
fardhu kifayah hukumnya
diantara orang-orang yang
patut menjadi hakim.
2.Hal Yang Diwajibkan Dan
Diharamkan Hakim
a.Hakim wajib mencari
keadilan dalam mengadili
manusia
Di tangan hakimlah terletak
lepas dan terikatnya manusia
yang berperkara, sengsara
atau atau selamatnya mereka,
oleh karena itu seorang hakim
harus bersungguh-sungguh
mencari kebenaran agar
dapat menghukum dengan
seadil-adilnya. Allah
berfirman: “dan bila kamu
menghukum antara manusia,
supaya kamu menghukum
dengan seadil-adilnya. Firman
Allah SWT: “Dan ingatlah
Daud dan Sulaiman ketika
keduanya menghukum
perkara tanaman, ketika biri-
biri sesuatu kaum telah
merusak tanaman itu dan
kamilah yang menjadi saksi
dalam penghukuman mereka.
Lantas kami ajarkanlah hukum
itu kepada Sulaiman, dan
kepada keduanya kami
datangkan Hikmah dan ilmu.
Salah satu syarat bagi orang
yang diangkat menjadi hakim
adalah memiliki kemampuan
berijtihad dan bersungguh-
sungguh mencari hak dengan
berpedoman kepada jitab
Allah dan Sunnah Nabinya.
Sabda Rosulullah Saw : dari
Amru bin Ash, dari Nabi Saw
bersabda beliau : apabila
seorang hakim menghuku,
lalu ia berijtihad, maka betul
ijtihadnya itu, maksa baginya
tersedia dua pahala. Dan
apabila ia sebuah pahala”
keterangan lainnya: dari haris
bin amru, dari sahabat-
sahabat Muaz, bahwa
Rasulullah saw tatkala ,
mengutus Muaz ke Negeri
Yaman beliau bertanya
kepadanya : bagaimanakah
caranya engkau menghukum
(mengadili) ? Muaz
menjawab : aku menghukum
menurut apa yang ada dalam
kitab Allah, Rasulullah
bertanya pula : jika tidak ada
bertemu apa yang ada dalam
kitab Allah? Muaz menjawab,
lalu dengan Sunnah Rasulullah
saw. Rasulullah bertanya
pula : jika tidak bertemu
dengan Rasulullah dalam
Sunnah Rasulullah? Ia
menjawab : aku berijtihad
(aku berusaha sedapat-
dapatnya) menurut pikiranku.
Rasulullah menjawab :
Alhamdulillah (pujian-pujian
bagi Allah) yang telah
memberi taufik akan utusan
Rasulullah saw. Dengan
demikian nyatalah bahwa
hukum yang wajib dilakukan
terlebih dahulu adalah
menurut yang tertulis dalam
Al-qur’an. Jika tidak dapat
dalam Al-qur’an dicari dalam
hadits, jika tidak ditemukan
dalam hadits, dicari Ilat atau
persamaannya, inilah yang
disebut dengan ijtihad. Jika
tidak dapat dalam Al-qur’an
tetapi mempunyai ikatan atau
persamaan dengan perkara
lain atau hukumnya ada
dalam Al-qur’an dan hadits,
maka hukumnya disamakan
inilah yang disebut Qiyas yang
melakukan hendaklah yang
pandai berijtihad menurut
syar’i.
b.Kesopanan dalam
menghukum
Hakim adalah jabatan yang
tinggi dan mulai. Oleh sebab
itu seorang hakim hendaklah
berlaku sopan saat mengadili.
Sebab di tangan hakimlah
terletak keputusan bebas
tidaknya seseorang
terdakwah/tersangka, atau
penggugat dengan tergugat.
Oleh sebab itu dalam
mengadili suatu perkara
hendaklah dijaga: Pertama,
memeriksa perkara atau
memutuskan hukuman ketika
dalam keadaan marah, sebab
marah timbul dengan hawa
nafsu, biasanya membawa
kepada kebinasaan dan
kezaliman. Sabda Rasulullah
saw : dari Abdurahman bin
Abu Bakrah r.a berkata ia :
bersabda Rasulullah saw :
hakim tidak boleh
menjatuhkan hukuman kedua
orang yang berperkara ketika
ia sedang keadaan marah.
Dan jangan sampai
menjatuhkan hukuman dalam
keadaan :
1)sangat lapar dan haus
2)dalam keinginan birahi
(syahwat)
3)riang atau sedih
bersangkutan
4)sakit (kurang sehat)
5)datang atau buang air
6)datang angantuk
7)sangat panas atau sangat
dingin hal ini dikarenakan
semua itu dapat
mempengaruhi ketenangan
pikiran dan dapat pula
mengakibatkan ketidak adilan
dalam menjatuhkan hukuman.
Kedua, hendaklah
menyamakan pertanyaan,
tempat duduk dan sebagainya
antara dua orang yang
berperkara. Dari Abdullah bin
Zubair r.a berkata ia :
Rasulullah saw telah
menjatuhkan hukuman sedang
kedua orang yang berselisih
itu duduk di hadapan hakim.
Ketiga, hendaklah
mendengarkan dengan baik
keterangan kedua belah pihat
secara berganti – ganti. Sabda
Rasulullah saw. Dari Ali r.a
berkata ia: bersabda
Rasulullah saw : apabila
semua hukuman bagi orang
yang pertama sebelum
engkau akan mengetahui cara
menghukum mereka. Berkata
Ali : senantiasa aku menjadi
kadi (menghukum seperti itu)
sesudah itu. Digunakan
pengadilan itu diadakan
ditengah-tengah Negeri atau
tengah-tengah daerah
pemerintahan. Yaitu di ibu
kota, di tempat yang terlihat
dan jangan di mesjid, sebab
mesjid adalah tempat
beribadat.
c.Haram hukumnya bagi
seorang hakim dalam
menerima uang suap
Seorang hakim haram
menerima uang suap ataupun
hadiah dari pihak-pihat
berperkara, sebab hal itu
mempengaruhi perkara yang
sedang diadili, yang dapat
dimenangkan sedangkan yang
benar dapat disalahkan. Dari
Abu Hurairah r.a berkata ia :
telah dikutuki oleh Rasulullah
saw akan orang yang memberi
suap, atau yang menerimayan
dalam perkara huku. Uang
suap dapat membatalkan yang
hak dan membenarkan yang
batil. Dari Muaz bin Jabal r.a
berkata ia : telah di utus aku
oleh Rasulullah saw kenegeri
Yaman, takkala aku telah
berangkat diwaktu malam,
disuruhnya orang menyusul
daku dan disuruhnya aku
pulang, maka Rasulullah saw
bersabda : janganlah kamu
terima sesuatu dengan tidak
seizinku, sebab hal yang
semacam itu termasuk
penipuan dan siapa yang
menipu ia akan dihadapkan
dengan perbuatannya
(penipuan) itu di hari kiamat,
karena itulah engkau
dipanggil kemari, dan
sekarang teruslah engkau
berangkat untuk melakukan
tugasmu. Menurut pengarang
Subulussalam, hasil atau
keuntungan yang diperoleh
hakim ada empat macam,
antara lain :
1)Uang suap yaitu agar hakim
memutuskan hukum dengan
jalan yang tidak hak. Hukunya
haram bagi kedua pijak, baik
yang menerima atau yang
memberikannya. Namun
untuk menghukum dengan
jalan yang tidak hak maka
hukumnya bagi hakim namun
tidak haram atas orang yang
memberi.
2)Hadiah, apabila diberikan
oleh orang yang sebelum ia
menjadi hakim maka tidak
haram hukumnya, namun
apabila diberikan setelah ia
menjadi hakim maka haram
hukunya.
3)Upah. Bila hakim menerima
upah dari baitul mal atau dari
pemerintah maka hukumnya
haram. Jika tidak ada gaji,
boleh baginya mengambil
upah sesuai dengan
pekerjaanya.
4)Rezeki, pensiunan dari
jabatannya hakim yang
diangkat untuk suatu daerah
dalam Negara Islam, dapat
pensiunan (berhenti) dari
jabatannya karena :
Telah sampai kepadanya
kabar tentang
pemberhentiannya walaupun
orang yang dapat di percaya
begitu juga wakilnya.
Dia sendiri yang ingin
meninggalkan jabatan itu.
Rusak pikiran, gila, mabuk,
pitam dan sebagainya.
Fisik (kafir), yang tidak
diketahui sejak ia diangkat
atau datangnya sesudah
diangkat.
BAB II
KESIMPULAN
Hakim adalah seseorang yang
melakukan kekuasaan
kehakiman yang diatur
menurut undang-undang,
seseorang yang memutuskan
suatu perkara secara adil
berdasarkan bukti-bukti dan
keyakinan yang ada pada
dirinya sendiri.
Seorang hakim harus memiliki
integritas dan kepribadian
yang tidak tercela, jujur, adil,
professional, dan
berpengalaman di bidang
hukum, agar tidak keliru
dalam memutuskan suatu
perkara.
Berdasarkan hukum Islam
seorang hakim dapat
mengundurkan diri dari
persidangan apabila memiliki
kepentingan atau terikat
dengan keluarga sedarah atau
semanda sampai derajat
ketiga, atau hubungan suami
istri meskipun telah bercerai,
dengan ketua salah seorang
hakim anggota, jaksa,
advokat, atau panitera, hal ini
di maksudkan untuk menjaga
kemurnian adan independensi
peradilan agar seotang hakim
memutuskan suatu perkara
tidak secara subjektif yang di
sebabkan oleh hubungan
keluarga dan lain sebagainya
sebagaimana tersebut di atas
karena dikewatirkan seorang
hakim tidak dapat bertindak
adil terhadap pihak-pihak
yang menjadi keluarganya itu.
Jadi hukum melarang seorang
hakim untuk menangani
perkara yang melibatkan
orang-orang terdekatnya
untuk menjaga kemandirian
putusan yang dikeluarkannya.
Dalam pasal 28 ayat 1 undang-
undang pokok kehakiman,
hakim diwajibkan untuk
memperhatikan nilai-nilai
hukum pada yang ada pada
masyarakat dalam
memberikan putusan, hal ini
dikarenakan setiap
masyarakat dalam
memberikan putusan, hal ini
dikarenakan masyarakat
memiliki Pandangan yang
berbeda terhadap sesuatu
yang dianggap salah,
menyalahi aturan, atau
menyimpang. Dalam Islam
seseorang yang memutuskan
perkara di pengadilan di sebut
qadhi (hakim). Pada masa
Rasulullah saw masih hidup
yang menjadi hakim dan yang
menjadi jaksa penuntut umum
adalah Rasulullah saw sendiri
dan hukum yang hendak
dijatuhkan wajib menurut
hukum yang diturunkan Allah
swt. Menurut Nabi hakim
terdiri dari :
Hakim yang mengerti akan
kebenaran dan menghukum
dengan benar (masuk surga)
Hakim yang mengerti akan
kekuasaan namun melakukan
penindasan (masuk neraka)
Hakim yang menghukum
manusia karena
ketidaktahuan (masuk neraka)
satu syarat yang diangkat
menjadi hakim adalah
memiliki kemampuan
berijtihad dan bersungguh-
sungguh mencari hak dengan
berpedoman kepada kitab
Allah dan Sunnah Nabinya.
Hukum yang wajib dilakukan
terlebih dahulu adalah
menurut yang tertulis dalam
Al-qur’an. Jika tidak terdapat
dalam Al-qur’an barulah dari
dalam hadits, jika tidak
ditemukan dalam hadits, di
cari Ilat dan persamaannya,
inilah yang disebut dengan
ijtihad. Jika tidak terdapat
dalam Al-qur’an tetapi
mempunyai ikatan atau
persamaan dengan perkara
lain yang hukumnya ada
dalam Al-Qur'an dan hadits,
maka hukumnya disamakan
inilah yang disebut dengan
qiyas yang melakukan
hendaklah yang pandai
berijtihad menurut syar’i.

Sabtu, 20 Juni 2009

MAKALAH FIQIH TENTANGINFAQ, SHADAQOH, HIBAHDAN HADIAH

INFAQ
a. Shadaqah
1. Pengertian Shadaqah dan
Hukumnya
Shadaqah ialah pemberian
sesuatu kepada seseorang
yang membutuhkan, dEmgan
mengharap ridha Allah
semata. Dalam kehidupan
sehari-hari biasa disebut
sedekah.
Hukum shadaqah ialah
sunnat : hal ini sesuai dengan
perintah Allah SWT, sebagai
berikut :
Artinya : "Dan bersedekahlah
kepada Kami, sesungguhnya
Allah memberikan balasan
kepada orang-orang yang
bersedekah" (Yusuf : 88)
Allah juga berfirman sebagai
berikut :
Artinya : "Dan kamu tidak
menafkahkan, m~/ainkan
karena mencari keridhaan
Allah dan sesuatu yang kamu
belanjakan, kelak akan
disempurnakan ba/asannya
sedang kamu sedikitpun tidak
akan dianiaya". (QS. AI
Baqarah : 272) /
Shadaqah merupakan salah
satu amal shaleh yang tidak
akan terputus pahalanya,
seperti sabda Rasulullah SAW:
Artinya : "Apabila seseorang
te/ah meninggal dunia, maka
terputuslah semua amalnya
kecuali
tiga perkara, shadaqahjariyah,
ilmu yang bermanfaat atau
anak shaleh yang selalu
mendo'akan
kedua orang tuanya". (HR.
Muslim)
Pemberian shadaqah kepada
perorangan lebih utama
kepada orang yang terdekat
dahulu,
yakni sanak famili dan
keluarga, anak-anak yatim
tetangga terdekat, teman
sejawat, dan seterusnya.
2. Rukun Shadaqah
Rukun shadaqah dan
syaratnya masing-masing
adalah sebagai berikut :
a. Orang yang memberi,
syaratnya orang yang memiliki
benda itu dan berhak untuk
mentasharrufkan
( memperedarkannya )
b. Orang yang diberi,
syaratnya berhak memiliki.
Dengan demikian tidak syah
memberi kepada.
anak yang masih dalam
kandungan ibunya atau
memberi kepada binatang,
karena keduanya
tidak berhak memiliki sesuatu
c. Ijab dan qabul, ijab ialah
pernyataan pemberian dari
orang yang memberi
sedangkan qabul
ialah pernyataan penerimaan
dari orang yang menerima
pemberian .
d. Barang yang diberikan,
syaratnya barang yang dapat
dijual
Perbedaan shadaqah dan
infak, bahwa shadaqah lebih
bersifat umum dan luas,
sedangkan infak adalah
pemberian yang dikeluarkan
pad a waktu menerima rizki
atau karunia Allah. Namun
keduanya memiliki kesamaan,
yakni tidak menentukan
kadar, jenis, maupun jumlah,
dan diberikan dengan
mengharap ridha Allah
semata.
Karena istilah shadaqah dan
infak sedikit sekali
perbedaannya, maka umat
Islam lebih cenderung
menganggapnya sama,
sehingga biasanya ditulis infaq
I shadaqah.
Bershadaqah haruslah dengan
niat yang ikhlas, jangan ada
niat ingin dipuji (riya) atau
dianggap dermawan, dan
jangan menyebut-nyebut
shadaqah yang sudah
dikeluarkan, apalagi
menyakiti hati si penerima.
Sebab yang demikian itu dapat
menghapuskan pahala
shadaqah. Allah berfirman
dalam surat AI Baqarah ayat
264 :
Artinya : "Hai orang-orang
yang beriman, janganlah
kamu menghilangkan ( paha/
a) shadaqahmu dengan
menyebut-nyebutnya dan
menyakiti ( perasaan di
penerima ), seperti orang
yang menafkahkan hartanya
karena riya kepada
manusia ..." (QS. AI Baqarah :
264)
b. Hibah
1. Pengertian dan Hukumnya
Menurut bahasa hibah artinya
pemberian. Sedangkan
menurut istilah hibah ialah
pemberian . sesuatu kepada
seseorang secara cuma-cuma,
tanpa mengharapkan apa-apa.
Hibah dapat disebutjuga
hadiah.
Hukum hibah adalah mubah
( boleh ), sebagaimana sabda
Rasulullah sebagai berikut :
Artinya : "Dari Khalid bin Adi
sesungguhnya Nabi SA W
telah bersabda "siapa yang
diberi kebaikan oleh
saudaranya dengan tidak
berlebih-Iebihan dan tidak
karena diminta maka
hendaklah diterima jangan
ditolak. Karena sesungguhnya
yang demikian itu merupakan
rizki yang diberikan oleh Allah
kepadanya". (HR. Ahmad)
2. Rukun Hibah
Rukun hibah ada empat,
yaitu :
a. Pemberi hibah ( Wahib )
b. Penerima hibah ( Mauhub
Lahu ) c. Barang yang
dihibahkan .
d. Penyerahan ( Ijab Qabul )
3. Ketentuan Hibah
Hibah dapat dianggap syah
apabila pemberian itu sudah
mengalami proses serah
terima.
Jika hibah itu baru diucapkan
dan belum terjadi serah
terima maka yang demikian
itu belum
termasuk hibah.
Jika barang yang dihibahkan
itu telah diterima maka yang
menghibahkan tidak boleh
meminta
kembaJi kecuali orang yang
memberi itu orang tuanya
sendiri (ayah/ibu) kepada
anaknya
C. Hadiah
1. Pengertian dan Hukumnya
Hadiah adalah pemberian
sesuatu kepada seseorang
dengan maksud untuk
mmnuliakan atau memberikan
penghargaan. Rasulullah SAW
menganjurkan kepada
umatnya agar saling
memberikan hadiah. Karena
yang demikian itu dapat
menumbuhkan kecintaan dan
saling menghormati antara
sesama. Rasulullah SAW
bersabda :
Artinya : "Hendaklah kalian
saling memberikan hadiah,
niscaya kalian akan saling
menyayangi " ( HR Abu Ya'la )
Hukum nadiah adalah boleh
( mubah ). Nabi sendiripun
juga sering menerima dan
memberi hadiah kepada
sesama muslim, sebagaimana
sabdanya:
Artinya: "Rasulullah
SAWmenerima hadiah dan
beliau selalu membalasnya".
(HR. AI Bazzar)
2. Rukun Hadiah
Rukun hadiah dan rukun hibah
sebenarnya sama dengan
rukun shadaqah, yaitu :
a. Orang yang memberi,
syaratnya orang yang memiliki
benda itu dan yang berhak
mentasyarrufkannya
b. Orang yang diberi,
syaratnya orang yang berhak
memiliki .
c. Ijab dan qabul
d. Barang yang diberikan,
syaratnya barangnya dapat
dijual
d. Hikmah dan Manfaat
Shadaqah, Hibah dan Hadiah
1. Sebagai pernyataan rasa
syukur kepada Allah SWT.
yang diwujudkan dengan
memberi sebagian harta
kepada orang lain
2. Dapat menciptakan rasa
kasih sayang, kekeluargaan
dan persaudaraan yang lebih
intim antara pemberi dan
penerima

Kamis, 18 Juni 2009

MAKALAH FIQIH TENTANGBIMBINGAN QURBAN

BIMBINGAN QURBAN
A. ARTI QURBAN
1. Menurut Bahasa
Qurban adalah pendekatan
diri kepada Allah SWT
2. Menurut Syara
Qurban adalah nama
sembelihan hewan ternak
pada hari Idul Adlha dan Hari
Tasyrik
B. HUKUM QURBAN
Hukum Qurban terbagi 2,
yaitu:
1. Sunah Muakad (Sunah
Kipayah) yakni sunah yang
dikukuhkan dan hanya cukup
satu kali. Dasar berqurban
hanya karena mampu.
2. Wajib yakni keharusan
berqurban karena atas dasar
adanya Nadzar, baik nadzar
hakikat atau nadzar hukum.
Seperti mengucapkan:
“Saya akan berqurban apabila
saya
sehat:, atau “Saya nadzarkan
kambing ini hanya untuk
qurban.”
C. DASAR TUNTUNAN
QURBAN
1. Firman Allah:
ِّلَصَف َكِبَرِل َرَحْناَو
)رثوكلا:2 )
Artinya: Maka Solatlah karena
Tuhanmu dan berqurbanlah
(QS. Al Kautsar : 2)
ّلكلو
مسااوركديلاكسنمانلعجةما هللا
يلع مهقزرام نم ةميهب ماعنالا ( )
Artinya : Dan Kami jadikan
sembelihan untuk seluruh
umat supaya bisa berdzikir
kepada Allah atas rizki yang
telah diberikan kepada
mereka daripada hewan-
hewan ternak (QS. )
2. Dasar Hadits:
ربخو يذمرتلا نع ةشئاع يضر
هللا ّنااهنع يبنلا ّىلص هللا
هيلع ملسو لاق:لمعام نبا مدا موي
نمرحّنلا لمع ّبحا يلا هللا
يلاعت نم ةقارا مّدلا اهّنا يتاتل
موي ةمايقلا اهنورقب الظاو اهيف
ّناو مّّدلا عقيل نم هللا ناكمب
لبق نا عقي نم ضرالا اوبّيطف
اسفناهب.
Khabar Turmudzi dari Aisyah
RA : “ Sesungguhnya Nabi
Muhammad SAW, bersabda:
tidak ada amalan yang
dikerjakan oleh ibnu Adam
pada hari Idul Qurban yang
lebih dicintai Allah SWT.
Selain dari pada mengalirkan
darah (qurban). Sungguh
yakin, hewan qurban pasti
datang menjemput tuannya
pada hari kiamat dengan
tanduk dan sepatunya. Dan
sesungguhnya darah
sembelihan qurban yakni akan
tiba disisi Allah sebelum
menetes ke bumi, oleh karena
itu relakan jiwamu dengan
qurbanmu.
3. Dasar Qaol Ulama
Dalam kitab Syarqowi
disebutkan:
اومظع مكياحض اهّناف يلع
طارصلا مكاياطم
“Besarkan, agungkan
qurbanmu maka
sesungguhnya qurban itu
sebagai kendaraan bagimu
atas jembatan menuju Syurga
(Syiroth).
D. ADAPUN ORANG YANG
DITUNTUT UNTUK
BERQURBAN ADALAH:
1. Beragam Islam 3. Merdeka
2. Baligh dan berakal 4.
Mampu
E. KETENTUAN CUKUP UNTUK
BERQURBAN
a. Hewan-Hewan : - Unta yang
berumur 5 tahun memasuki
tahun ke 6
- Sapi yang berumur 2 tahun
memasuki tahun ke 3
- kambing (domba / kambing
jawa) telah berumur 2 tahun
dan sudah tanggal (pulak)
gigi.
Dan ketiga hewan tersebut
cukup jadi qurban apabila
tidak ada satu kecacatan,
seperti: picak, pincang, sakit
atau kurus.
b. Penyembelihan dilakukan
pada tanggal 10, 11, 12, 13
Dzulhijjah
c. Berqurban didasari niat
karena Allah dan
mendekatkan diri kepada-Nya
d. Qurban kambing cukup
untuk 1 orang, sapi dan unta
untuk 7 orang.
F. HUKUM MAKAN DAGING
QURBAN
1. Jawaz (boleh) Bagi orang
yang berqurban dengan dasar
sunah kifayah dengan
memakan (1/3) dari daging
qurban dengan tujuan
mendapat keberkahan
2. Haram bagi orang yang
berqurban dengan dasar
nadzar baik nadzar hakikat
ataupun nadzar hukum,
memakan daging qurban
tersebut.
KAIFIYAH MEMOTONG
HEWAN QURBAN
A. Bacaan – Bacaan
1. Membaca basmalah,
sholawat, takbir, sekaligus
membaca do’a qurban bagi
dirinya atau orang lain
مهللا ّنا هذه ةيحضا...........نب/
تنب............ يّنماهلبقتف
يمسا ....... / هنم همسا ....../
اهمسااهنم........ ميركاي مهللا
اهلعجا ءادف ىل / هل / نماهل
ىلارتسوراّنلا / هل/ اهل نم
راّنلا ةاربو ىل / هل / اهل نم
راّنلا, انتاانبر ىف
ةنسحاينّدلا ةرخالاىفو ةنسح
باذعانقو راّنلا. ىّلصو هللا
ىلع دّيس ان دّمحم و ىلع هلا
هبحصو مّلسو هللدمحلاو ّبر
نيملاعلا. نيما .
B. Posisi Kambing
1. Keadaan kambing
menyendeh dan kepala ke
sebelah utara serta
ditenggakan ke atas
2. Potongan leher sebaiknya
jangan terlalu dekat pada
kepala dan jangan sampai
putus
C. Alat Pemotong
1. Dengan golok yang tajam
dan sejenisnya
2. Golok tidak boleh diangkat
sebelum yakin telah sempurna
memotong

Rabu, 17 Juni 2009

MAKALAH FIQIH TENTANGARIYAH

BAB I
PENDAHULUAN
Kegiatan ekonomi yang sering
kita temui dalam kehidupan
sehari-hari bahkan tanpa kita
sadari, pinjam-meminjam
sering kita lakukan. Berbicara
mengenai pinjaman (‘Ariyah),
maka perlu kita bahas
mengenai dasar hukum
ariyah.
Apa sebenarnya ariyah itu?
Bagaimana dasar hukum serta
rukun dan syarat Ariyah? Dan
apakah pembayaran /
pengambilan pinjaman itu
telah sesuai atau tidak? Untuk
itu kita perlu mengetahui
bagaimana pengembalian
yang sesuai dengan syara .
agar kita bisa menerapkan
dalam kehidupan nyata.
Adapun tujuan disusunnya
makalah ini adalah untuk
memberi pengetahuan kepada
pembaca umumnya dan saya
khususnya tentang hal-hal
yang berkaitan dengan ‘ariyah
dan hukumnya, sehinga kita
dapat mengaplikasikanya
dalam kegiatan kita sehari-
hari. Akhirnya, semoga
makalah ini bermanfaat bagi
kita semua.
BAB II
PINJAMAN (ARIYAH)
A. Pengertian
Pinjaman atau ‘ariyah menurut
bahasa ialah pinjaman.
Sedangkan menurut istilah,
‘ariyah ada beberapa
pendapat:
1. menurut Hanafiyah, ariyah
ialah:
“memiliki manfaat secara
Cuma-Cuma”
2. menurut malikiyah, ariyah
ialah:
“Memiliki manfaat dalam
waktu tertentu dengan tanpa
imbalan.
3. Menurut syafiiyah, ariyah
adalah:
“Kebolehan mengambil
manfaat dari sesorang yang
membebaskannya,apa yang
mungkin untuk dimanfaatkan,
serta tetap zat barangnya
supaya dapat dikembalikan
kepada pemiliknya.”
4. menurut Hanbaliyah, Ariyah
ialah:
“kebolehan memanfaatkan
suatu zat barang tanpa
imbalan dari peminjam atau
yang lainnya.”
5. Ariyah adalah kebolehan
mengambil manfaat barang-
barang yang diberikan oleh
pemiliknya kepada orang lain
dengan tanpa di ganti
Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan ariyah ialah
memberikan manfaat suatu
barang dari seseorang kepada
orang lain secara Cuma-Cuma
(gratis). Bila diganti dengan
sesuatu atau ada imbalannya,
hal itu tidak dapat disebut
ariyah.
B. Dasar Hukum ‘Ariyah
Menurut Sayyid Sabiq, tolong
menolong (‘Ariyah) adalah
sunnah. Sedangkan menurut
al-Ruyani, sebagaimana dikutif
oleh Taqiy al-Din, bahwa
ariyah hukumnya wajib ketika
awal islam. Adapun landasan
hukumnya dari nash Alquran
ialah:
“dan tolong-menolonglah
kamu untuk berbuat kebaikan
dan taqwa dan janganlah
kamu tolong-menolong untuk
berbuat dosa dan
permusuhan.”
(Al-Maidah:2)
“Sesungguhnya Allah
memerintahkan kamu agar
menyampaikan amanat
kepada yang berhak
menerimanya.” (An-Nisa:58)
Selain dari Al-Quran, landasan
hukum yang kedua adalah Al-
Hadis, ialah:
“barang peminjaman adalah
benda yang wajib
dikembalikan”
(Riwayat Abu Daud)
“orang kaya yang
memperlambat (melalaikan)
kewajiban membayar utang
adalah zalim (berbuat aniaya)

(Riwayat Bukhari dan Muslim)
C. Rukun dan Syarat ‘Ariyah
Menurut Hanafiyah, rukun
‘ariyah satu, yaitu ijiab dan
Kabul, tidak wajib diucapkan
tetapi cukup dengan
menyerahkan pemilik kepada
peminjam barang yang
dipinjam dan boleh hukum
ijiab Kabul dengan ucapan.
Menurut Syafiiyah, rukun
ariyah adalah sebagai berikut:
1. Kalimat mengutangkan
(lafazh), seperti seseorang
berkata, “saya utangkan
benda ini kepada kamu” dan
yang menerima berkata “
saya mengaku berutang benda
anu kepada kamu.” Syarat
bendanya adalah sama
dengan syarat benda-benda
dalam jual beli.
2. Mu’ir yaitu orang yang
mengutangkan (berpiutang)
dan Mus’tair yaitu orang yang
menerima utang. Syarat bagi
mu’ir adalah pemilik yang
berhak menyerahkannya,
sedangkan syarat-syarat bagi
mus’tair adalah:
 baligh
 berakal
 orang tersebut tidak
dimahjur(dibawah curatelle)
atau orang yang berada
dibawah perlindungan, seperti
pemboros.
3. Benda yang diutangkan,
pada rukun ketiga ini
disyaratkan dua hal, yaitu:
 Materi yang dipinjamkan
dapat dimanfaatkan, maka
tidak syah ariyah yang
matwrinya tidak dapat
digunakan, seperti meminjam
karung yang sudah hancur
sehingga tidak dapat
digunakan untuk menyimpan
padi.
 Pemanfaatan itu dibolehkan,
maka batal ariyah yang
pengambilan manfaat
materinya dibatalkan oleh
syara, seperti meminjam
benda-benda najis.
D. Pembayaran Pinjaman
Setiap orang yang meminjam
sesuatu kepada orang lain
berarti peminjam memiliki
utang kepada yang berpiutang
(mu’ir). Setiap utang wajib
dibayar sehingga berdosalah
orang yang tidak mau
membayar utang, bahkan
melalaikan pembayaran utang
juga termasuk aniaya.
Perbuatan aniaya merupakan
salah satu perbuatan dosa.
Rasulallah Saw, bersabda:
“ Orang kaya yang melalaikan
kewajiban membayar utang
adalah aniaya”
(Riwayat Bukhari dan
Muaslim).
Melebihkan bayaran dari
sejumlah pinjaman
diperbolehkan, asal saja
kelebihan itu merupakan
kemauan dari yang berutang
semata. Hal ini menjadi nilai
kebaikan bagi yang membayar
utang.
Rasulallah Saw. Bersabda:
“sesungguhnya diantara orang
yang terbaik dari kamu adalah
orang yang sebaik-baiknya
dalam membayar utang”
(Riwayat Bukhari dan Muslim)
Rasulallah pernah berutang
hewan, kemudian beliau
membayar hewan itu dengan
yang lebih besar dan tua
umurnya dari hewan yang
beliau pinjam. Kemudian Rasu
bersabda:
“ Orang yang paling baik
diantara kamu ialah orang
yang dapat membayar
utangnya dengan yang lebih
baik”
(Riwayat Ahmad)
Jika penambahan itu
dikehendaki oleh orang yang
berutang atau telah menjadi
perjajian dalam akad
berpiutang, maka tambahan
itu tidak halal bagi yang
berpiutang untuk
mengambilnya. Rasul
bersabda:
“ Tiap-tiap piutang yang
mengambil manfaat, maka itu
adalah salah satu cara dari
sekian cara riba”
( Dikeluarkan oleh Baihaqi).
E. Meminjam Pinjaman dan
Menyewakan
Abu Hanifah dan Malik
berpendapat bahwa pinjaman
boleh meminjamkan benda-
benda pinjaman kepada orang
lain. Sekalipun pemiliknya
belum mengizinkan jika
penggunanya untuk hal-hal
yang tidak berlainan dengan
tujuan pemakaian pinjaman.
Menurut Mazhab Hanbali,
peminjam boleh
memanfaatkan barang
pinjaman atau siapa saja yang
menggantikan setatusnya
selama peminjaman
berlangsung, kecuali jika
barang tersebut disewakan.
Haram hukumnya menurut
Hanbaliyah menyewakan
barang pinjaman tanpa seizing
pemilik barang.
Jika peminjam suatu benda
meminjamkan benda pinjaman
tersebut kepada orang lain,
kemudian rusak ditangan
kedua, maka pemilik berhak
meminta jaminan kepada
salah seorang diantara
keduanya. Dalam keadaan
seperti ini, lebih baik barang
meminta jaminan kepada
pihak kedua karena dialah
yang memegang ketika
barang itu rusak.
F. Tanggung Jawab Peminjam
Bila peminjam telah
memegang barang-barang
pinjaman, kemudian barang
tersebut rusak, ia
berkewajiban menjaminnya,
baik arena pemakaian yang
berlebihan maupun karena
yang lainnya. Demonian
menurut Idn Abbas, Aisyah,
Abu Hurairah, Syai’I dan Ishaq
dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Samurah,
Rasulallah Saw. Bersabda:
“Pemegang kewajiban
menjaga apa yang ia terima,
hingga ia mengambilkannya”.
Sementara para pengikut
hanafiyah dan Malik
berpendapat bahwa, pemin
jam tidak berkewajiban
menjamin barang
pinjamannya, kecuali karena
tindakan yang berlebihan,
karena Rasulallah Saw.
Bersabda:
“Pinjaman yang tidak
berkhianat tidak berkewajiban
mengganti kerusakan”
(Dikeluarkan ai-Daruquthin)
G. Tatakrama Berutang
Ada beberapa hal yang
dijadikan penekanan dalam
pinjam-meminjam atau utang-
piutang tentang nilai-nilia
sopan-santun yang terkait di
dalamnya, ialah sebagai
berikut:
a. Sesuai dengan QS. Al-
Bazaar: 282, utang-piutang
supaya dikuatkan dengan
tulisan dari pihak berutang
dengan disaksikan dua orang
saksi laki-laki dengan dua
orang saksi wanita. Untuk
dewasa ini tulisan tresebut
dibuat diatas kertas bersegel
atau bermaterai.
b. Pinjaman hendaknya
dilakukan atas dasar adanya
kebutuhan yang mendesak
disertai niat dalam hati akan
membayarnya/
mengembalikannya.
c. Pihak berpiutang hendaknya
berniat memberikan
pertolongan kepada pihak
berutang. Bila yang meminjam
tidak mampu mengembelikan,
maka yang berpiutang
hedaknya membalaskannya.
d. Pihak yang berutang bila
sudah mampu membayar
pinjaman, hendaknya
dipercepat pembayaran
utangnya karena lalai dalam
pembayaran pinjaman berari
berbuat zalim.
BAB III
KESIMPULAN
‘Ariyah (pinjaman) adalah
memberikan manfaat suatu
barang dari seseorang kepada
orang lain secara Cuma-Cuma
(gratis). Apabila digantikan
dengan sesuatu atau ada
imbalannya, hal itu tidak
dapat disebut ¸’Ariyah.
Dalam ‘ariyah ada rukun dan
syarat yang harus dipenuhi,
rukun ‘ariyah yaitu adanya
akad (ijab dan qabul), Orang-
orang yang berakad, dan
barang yang dipijamkan.
DAFTAR PUSTAKA
• Suhendi, Hedi. 2002. Fiqih
muamalat. Jakarta: PT.
RAJAGRAFINDO PERSADA
• Mulyadi, Ahmad. 2006. Fiqih.
Bandung: penerbit Titian Ilmu
• Abdul Jalil, Ma’ruf. 2006. Al-
Wajiz. Jakarta: Pustaka As-
Sunah

Minggu, 14 Juni 2009

MAKALAH FIQIH TENTANG(THAHARAH) ) BERSUCIDENGAN MANDI

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Ibadah merupakan suatu
kewajiban bagi umat manusia
terhadap Tuhannya dan
dengan ibadah manusia akan
mendapat ketenangan dan
kebahagiaan di dunia dan di
akhirat nanti. Bentuk dan jenis
ibadah sangat bermacam –
macam, seperti Sholat puasa,
naik haji, jihad, membaca Al-
Qur'an, dan lainnya. Dan
setiap ibadah memiliki syarat
– syarat untuk dapat
melakukannya, dan ada pula
yang tidak memiliki syarat
mutlak untuk melakukannya.
Diantara ibadah yang memiliki
syarat – syarat diantaranya
haji, yang memiliki syarat–
syarat, yaitu mampu dalam
biaya perjalannya, baligh,
berakal, dan sebagainya. Dan
contoh lain jika kita akan
melakukan ibadah sholat
maka syarat untuk melakukan
ibadah tersebut ialah kita
wajib terbebas dari segala
najis maupun dari hadats, baik
hadats besar maupun hadats
kecil.
Kualitas pahala ibadah juga
dipermasalah jika kebersihan
dan kesucian diri seseorang
dari hadats maupun najis
belum sempurna. Maka
ibadah tersebut tidak akan
diterima. Ini berarti bahwa
kebersihan dan kesucian dari
najis maupun hadats
merupakan keharusan bagi
setiap manusia yang akan
melakukan ibadah, terutama
sholat, membaca Al-Qur'an,
naik haji, dan lain sebaginya.
1.2 Identifikasi Masalah
Hubungan ibadah dengan ilmu
fiqih sangatlah erat karena
dengan ilmu fiqih kualitas
ibadah dapat tercapai dengan
baik. Dan dengan ilmu fiqih
dapat dipelajari bagaimana
tata cara membersihkan diri
dari najis dan hadats.
1.3 Pembatasan Masalah
Dari latar belakang masalah
di atas, agar pembahasan
tidak meluas maka penulis
akan membahasa mengenai
mandi yang merupakan cara
bersuci dari hadats
1.4 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang
masalah dan pembatasan
masalah di atas maka dapat
dirumus beberapa masalah
diantaranya ialah bagaimana
pengertian mandi, bagaimana
rukun mandi, macam –
macam mandi, dan hikmah
dari mandi.
BAB II
MANDI MERUPAKAN CARA
BERSUCI DARI HADATS
2.1 Pengertian
Mandi (ghust), merupakan
syara, ialah meratakan air
pada seluruh badan untuk
thaharah dari pada hadats
anusath dan hadats akbar.
Sedangkan bersuci dari hadats
ialah membersihkan pakaian,
tempat atau benda-benda lain
dari suatu keadaan yang
merusak thaharah, seperti
keluarnya sesuatu dari dua
lubang (dubur dan qubul).
2.2 Rukun Mandi
Rukun mandi wajib ada dua
yaitu niat dan meratakan air
keseluruh tubuh. Sedangkan
sunnahnya ada lima yaitu:
1. Membaca basmalah pada
saat mulai mandi
2. Berwudu sebelum mandi
3. Menggosok-gosokan badan
dengan tangan ke seluruh
tubuh
4. Menahulukan anggota
badan yang kanan dari pada
yang kiri
5. Berturut-turut dan tertib
2.3 Macam – Macam Mandi
Berdasarkan pengertian
mandi diatas, maka mandi
dapat terbagi atas :
a. Mandi wajib
Mandi wajib dilakukan dengan
cara menyiram seluruh
anggota badan, dimulai dari
bagian atas kepala sampai
keujung kaki dengan memakai
air bersih.
Adapun sebab-sebab yang
mewajibkan mandi yaitu :
1. Karena berkumpulnya
suami istri, baik
mengeluarkan air mani atau
tidak. Sabda Rasulullah saw :
َلاَق ُلْوُسَر ِهللا ىَّلَص
ُهللا ِهْيَلَع َمَّلَسَو
ىَقَتلااَذِإ ِناَفاَتَخلْا
ْدَقَف َبَجَو ُلْسُغلْا ْنِاَو
ْمَل ْلِزْنُي )هاور ملسم )
Artinya :
Rasulullah saw
bersabda :”Apabila bertemu
dua khitan, maka
sesungguhnya telah
diwajibkan mandi meskipun
tidak keluar mani” (H.R
muslim).
2. Karena keluar mani, baik
disebabkan oleh mimpi atau
sebab-sebab lainnya
3. Karena meninggal dunia
(mati)
Sabda Rasulullah SAW:
ِنَع ِنْبا ِساَّبَع َّنَأ
ُلْوُسَر ِهللا ىَّلَص ُهللا
ِهْيَلَع َمَّلَسَو َلاَق ىِف
ِسْحُملْا ِم ىِذَّلا ُهْتَصَقَو
ُهُتَقاَن ُهْوُلِسْغا ٍءاَمِب
ِرْدِسَو )هاور ىراخبا ملسمو )
Artinya:
Dari Ibnu Abas, Rasulullah
SAW telah bersabda tentang
orang mati karena terlontar
oleh untanya, ka beliau:
“mandikanlah dia olehmu
dengan air dan bidara”. (H.R
Bukhari dan Muslim)
4. Karena datang bulan (haid)
5. Karena nifas, yaitu keluar
darah ketika melahirkan
b. Mandi Sunnat
Disamping mandi wajib
sebagaimana dijelaskan di
atas, ada pula mandi sunnat
yaitu mandi yang di sunatkan
karena sebab-sebab tertentu.
Sebab-sebab tersebut adalah
sebagai berikut :
1. Akan mengerjakan shalat
jum’at
2. Akan melaksanakan shalat
idul fitri atau idul adha
3. Orang gila yang sembuh
dari gilanya
4. Akan melaksanakan ihram
baik untuk haji maupun untuk
umrah
5. Selesai memandikan
jenazah
6. Orang kafir yang baru
masuk Islam
2.4 Hikmah Mandi
Mandi merupakan salah satu
cara bersuci dalam rangkaian
ibadah yang secara umum
mengandung hikmah bagi
manusia sebagaimana
dijelaskan dalam Al-Qur'an
surat Al-Maidah ayat 6 yaitu:
.... ُدْيِرُي َرِّهَطُيِل ْمُك
َّمِتُيِلَو ُهَتَمْعِن ْمُكْيَلَع
ْمُكَّلَعَل ْنْورُكْشَت
)هدئاملا:6 )
Artinya :
“Dia hendak membersihkan
kamu dan menyempurnakan
nikmatnya bagimu, supaya
bersyukur”.
Adapun hikmahnya yaitu :
1. Dapat menetralisasi
pengaruh kejiwaan yang
ditimbulkan akibat pergaulan
seksual.
2. Dapat memulihkan
kekuatan dan kesegaran , dan
membersihkan kotoran.
3. Menambah kekhusyuan
dalam beribadah
4. Dapat memulihkan
kesadaran, kesegaran dan
ketenangan pikiran
BAB III
KESIMPULAN
Bersuci merupakan
persyaratan dari beberapa
macam ibadah, karena itu
bersuci memperoleh tempat
yang utama dalam ajaran
Islam. Berbagai aturan dan
hukum ditetapkan oleh syara
dengan maksud antara lain
agar manusia menjadi suci dan
bersih baik lahir maupun
batin.
Kesucian dan kebersihan lahir
dan batin merupakan pangkal
keindahan dan kesehatan.
Oleh karena itu hubungan
kesucian dan kebersihan
dengan keindahan dan
kesehatan erat sekali. Pokok
dari ajaran ilam tentang
pengaturan hidup bersih, suci
dan sehat bertujuan agar
setiap muslim dapat
melaksanakan tugas dan
kewajibannya sebagai khalifah
di muka bumi.
Kebersihan dan kesucian lahir
dan batin merupakan hal yang
utama dan terpuji dalam
ajaran Islam, karena dengan
kesucian an kebersihan dapat
meningkatkan derajat harkat
dan martabat manusia di
hadirat Allah SWT